Sabtu, 10 Oktober 2009

Kenangan dengan Pak Harto

Pada hari ini, 8 Juni 2007, mantan Presiden Republik Indonesiaberulangtahun yang ke-86. Pak Harto dilahirkan di sebuah desa yang bernama Kemusuk, Argomulyo, di Yogyakarta, pada tahun 1921.Pada tulisan ini saya tidak bermaksud membahas panjang lebar tentang sosok Pak Harto. Sosok yang pernah berkuasa di negeri ini selama 32 tahun jelas bukan tokoh yang tidak dikenal. Semua sudah tahu, walau mungkin hanya secara garis besar, bahwa Soeharto mengawali karir di dunia militer, ikut berjuang pada perang kemerdekaan, sampai pada peristiwa G30S/PKI yang membawanya ke dunia politik di tanah air.
Setiap kali melihat wajah Pak Harto, ada satu hal yang saya ingat, dulu saya pernah surat-suratan dengannya. Hal ini pula-lah yang mengingatkan saya ketika sadar bahwa hari ini Pak Harto berulangtahun. Ya, mungkin sekali sebenarnya saya tidak dibaca oleh beliau. Yang membalas pun jelas bukan beliau. Tapi yang jelas dulu saya pernah balas-balasan. Sekurangnya 2-3x saling balas.Pertama kali “bertegur-sapa” dengan Pak Harto adalah ketika saya duduk di kelas IV B, SD Negeri 2 Telukbetung Selatan, Bandarlampung, sekitar tahun 1984-85. pertama saya hanyalah sebuah kartu ucapan selamat hari raya idul fitri, tentunya dengan beberapa kalimat yang saya tulis sendiri di kartu murahan yang saya beli di emperan halaman Kantor Pos di dekat rumah. Lupa dulu bilang apa di kartu itu. Yah yang pasti seputaran selamat lebaran untuk Pak Harto sekeluarga. Itu pun saya kirim dengan asal tebak, karena ngga tahu nomor rumah dan kode pos Pak Harto. Saya masih ingat, dulu saya tujukan ke:
Kepada Yth.
Bapak Presiden Soeharto dan Keluarga
Jl. Cendana no.1
Jakarta Pusat
Begitu saja. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata rumah Pak Harto bukan di rumah nomor 1. Tapi yang penting pak pos tahu-lah. Yang penting sampai. Pada keterangan pengirim, saya menggunakan alamat sekolah, lengkap dengan keterangan kelas IV B nya.Gotcha! Ternyata kartu lebaran saya dibalas. Memang agak telat, karena lebaran sudah lewat. Tapi tetap saja, better late than never. Bikin heboh guru-guru, bikin heboh sekolah. Karena ada kiriman untuk Ananda Rahmat Zikri, Murid kelas IVB, SD Negeri 2 Telukbetung Selatan…. dari Presiden Republik Indonesia!Dengan hati yang berbunga-bunga karena dapat balasan kartu lebaran dari Pak Harto, saya nekat menulis surat. Kiriman yang ke-dua ini jelas bukan sekadar kartu ucapan. Kali ini benar-benar surat yang saya tulis tangan, pada beberapa lembar kertas surat bergaris yang saya beli di toko yang juga dekat rumah. Yang jelas bukan hanya selembar. Banyak yang saya tulis di situ. Lupa, apa saja isinya. Pastinya 2-3 lembar. Mungkin lebih. Intinya, saya mengucapkan terimakasih atas balasan kartu lebarannya. Cerita kalau saya ranking 1 di sekolah. Cerita bagaimana lingkungan di sekitar saya. Lalu saya juga meminta sebuah kenang-kenangan lagi dari Pak Harto, saya minta foto beliau berdua Ibu Tien Soeharto.. lalu minta foto tersebut ditandatangani.

Nah, untuk kali ini balasannya agak lambat. Malah saya nyaris hampir melupakan permintaan tersebut. Saya pun telah naik kelas ke kelas V B. Tiba-tiba seorang guru piket mengetuk pintu kelas, memanggil saya. Lagi-lagi heboh. Kali ini saya menerima kiriman paket dari Sekretariat Negara Republik Indonesia. Waktu bungkusan dibuka, ternyata isinya sebuah foto ukuran 10R dengan bingkai bertuliskan Presiden Republik Indonesia, foto Pak Harto berdua Ibu Tien Soeharto, lengkap dengan tandatangan mereka berdua dengan tinta emas!Sebagai surat pengantar kali ini adalah sebuah surat yang ditandatangani oleh (Brigjen) G.Dwipayana. Sekretaris Presiden kala itu, yang sebenarnya lebih saya kenal namanya pada serial “Si Unyil” di awal dekade 80-an. Kalau tidak salah dulu posisi Pak G.Dwipayana di “Si Unyil” adalah sebagai sutradara. Lagi-lagi saya ngga ingat apa isinya. Cuma ingat yang tandatangan di surat itu adalah G.Dwipayana.

Surat-suratan pun masih berlanjut. Tapi pada surat yang berikutnya ini permintaan saya ngga dipenuhi. Salah satu yang saya ingat adalah saya ingin sekali punya sepeda. Ketika itu ada pabrik sepeda di Lampung, yang konon punya keluarga Cendana. Desas-desus itu pula-lah yang mengilhami surat saya yang isinya minta sepeda. Ada juga cerita bahwa ada anak Indonesia yang pernah dikasih sepeda oleh Pak Harto. Entah karena mungkin ketika disurvai oleh intel ternyata orangtua saya dianggap mampu membelikan sepeda atau sebab lain, yang jelas sampai sekarang (setelah lewat 2 dekade) saya tetap tidak dapat sepeda dari Pak Harto, juga belum pernah sekali pun punya sepeda

Di surat yang lain, saya ‘curhat’ membayangkan enaknya jadi anak Pak Harto. Dengan eksplisit pula pernah secara tersurat bilang supaya Pak Harto mengangkat saya sebagai anak. Entah apakah ada anak Indonesia yang lebih nekat dari saya ketika itu. Kalau dipikir-pikir, gokil juga. But it was really fun!.

Kenekatan saya yang lain pada jaman SD adalah ketika mengirim surat ke Menteri Pemuda dan Olahraga ketika itu, Abdul Gafur, untuk menantang salah satu dari dua petinju top Indonesia waktu itu, Ellyas Pical atau Yani Hagler, kalau berani lawan sepupu saya yang lagi doyan body building. Walau anak SD, tapi soal hitung-hitungan duit ngerti banget. Saya yakin kalau kakak sepupu saya itu diadu dengan salah satu dari petinju top itu, bisa menang. Badannya lebih besar. Lumayan kalau saya jadi promotor dia gebuk-gebukan dengan Ellyas Pical. Tapi suratnya ngga dibalas

Memasuki usia SMP, saya mulai ‘bosan’ dengan Pak Harto. Sebenarnya bukan dengan Pak Harto-nya sih. Tapi dekat lingkungan di sekitarnya. Walau usia SMP (1987-1990), saya cukup memahami sepak terjang orang-orang di sekitar Pak Harto, bagaimana mereka menguasai bisnis, menguasai dunia politik. Dengan Golkar sebagai mesin politiknya, semua yang tidak berwarna “kuning” bisa susah.

Kebetulan Ibu saya ketika itu aktif di dunia politik, dengan posisi terakhir sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (DPW PPP) Propinsi Lampung. Dengan posisi sebagus itu pun ternyata pada tahun 1987 gagal menembus kursi legislatif di DPRD Propinsi. Penggembosan PPP yang terjadi di tahun 1987 meluluhlantakkan perolehan suara yang sangat merosot dibandingkan pada Pemilu tahun 1982. Seingat saya, tahun 1982 PPP Lampung sekurangnya kebagian 5 kursi, tapi tahun 1987 hanya 1 atau 2. Prosedurnya, nomor 1 untuk ketua, nomor 2 untuk sekretaris. Golkar-isasi nyaris absolut. Menguasai kursi sekitar 90%!

Oh iya, cerita sedikit tentang Ibu, sebenarnya beliau lebih aktif di dunia dakwah. Memulai ‘perjumpaannya’ dengan politik melalui Aisyiyah (Organisasi kewanitaan di Muhammadiyah), yang berlanjut ke Muslimin Indonesia (MI) — yang pada Pemilu 1955 bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dibekukan di jaman Orla, kalau tidak salah karena dianggap menentang Orla. Lalu berubah wujud menjadi Partai Muslimin Indonesia, yang selanjutnya berubah menjadi MI. MI bersama Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam (SI) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti) melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (5 Januari 1973).

Pada awal-awal saya duduk di bangku sekolah dasar, sempat juga menikmati indahnya “jadi anggota dewan yang terhormat”. Ketika itu Ibu di DPRD Tingkat II Kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung (pada tahun 1982 berubah nama menjadi kotamadya Bandarlampung). Ibu ngga berani meninggalkan saya sendiri di rumah, berdua dengan pembantu. Karena katanya saya bandel luar biasa. Ngga bakal nurut dengan orang lain, kecuali dengan beliau. Jadi, daripada “diapa-apain” sama pembantu, mending diajak ngantor di DPRD. Kadang saya ikut sidang juga.. kecuali sidang pleno, karena tidak boleh ada anak kecil. Enak juga. Kalau giliran anggota dewan yang terhormat jalan-jalan ke luar kota, saya ikut. Hahaha.

Nah, begitu masuk SMP, jadi sebal dengan sepak terjang Golkar yang membuat semua orang dipaksa nyoblos Golkar. Karena jelas saya juga kena imbasnya. Hahaha.. Itu sih alasan pribadi. Tapi alasan umum, semua juga tahu bagaimana sepak terjang Orde Baru. Pak Harto sebenarnya baik. Jelas banyak jasanya pada bangsa ini. Tapi orang-orang di sekitarnya yang memanfaatkan berbagai fasilitas yang membuat bangsa ini jadi luluhlantak. Secara langsung atau tidak, tetap saja Pak Harto punya andil dalam memudahkan orang-orang itu merajalela.

Hasilnya, pada jaman SMP ini, surat-surat dan foto Pak Harto yang saya dapatkan di jaman SD pun masuk dalam gudang. Kalau saya cari mungkin masih ada. Yah, mestinya memang harus saya cari. Memorabilia. Bagaimana pun Pak Harto tetap berjasa dan patut dikenang.

Selamat ulangtahun Pak Harto!

1 komentar: