Minggu, 11 Oktober 2009

Catatan Agus Pambagio : Fuel Surcharge Penerbangan Menipu Konsumen

Senin, 12/10/2009 07:46 WIB
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Lebaran telah usai dan hampir seluruh penduduk perkotaan sudah kembali ke tempat tinggal sekaligus tempat mencari nafkahnya. Operator penerbangan usai berpesta dan sekarang tinggal menghitung keuntungan selama H-7 sampai H+7. Meski harga tiket melambung tetap saja dikejar konsumen demi berlebaran di kampung halaman. Konsumen tidak peduli bahwa dirinya tengah diperdaya oleh operator penerbangan selama ini melalui pembebanan fuel surcharge (FS) pada setiap rute penerbangan dengan besaran yang mencekik leher.
FS adalah komponen tambahan biaya dalam industri penerbangan yang diizinkan oleh Pemerintah dan harus dibayar konsumen di luar harga tiket. FS diterapkan oleh maskapai penerbangan atas izin Pemerintah c.q. Departemen Perhubungan sebagai upaya untuk menutup biaya yang muncul sebagai akibat dari kenaikan harga avtur. Patut diduga maskapai penerbangan di Indonesia memberlakukan FS dengan perhitungan yang tidak jelas dan tidak diinformasikan cara penghitungannya kepada konsumen. Sementara patut diduga regulator (Departemen Perubungan) membiarkan para operator memperdaya konsumen.
Ketua KPPU Benny Pasaribu pada Kompas.com (23 Juli 2009) mengatakan: harga FS terus mengalami kenaikan dengan persentase yang tidak sebanding dengan persentase kenaikan harga avtur. Tak hanya itu, maskapai menetapkan besaran FS dengan melakukan penghitungan sendiri dan tidak berlandaskan penghitungan yang akurat. "Itu membebani konsumen," tegas Benny. Jadi menurut saya maskapai penerbangan patut diduga telah menipu konsumen dengan alasan untuk menutup kerugian operasional akibat meningkatnya harga avtur.
Betulkah FS untuk Menutup Rugi Operasional ?
Untuk membahas kerugian operasional coba kita lihat laporan keuangan tahunan PT Garuda Indonesia (GA) tahun 2008 yang sudah dipublikasikan beberapa waktu yang lalu dan kebetulan saya mempunyainya. Tahun 2008 PT GA memperoleh laba bersih sebesar Rp 669.470.777.905 atau naik lebih dari 10 kali lipat dibanding laba bersih tahun 2007 yang hanya sebesar Rp 60.185.886.585. Suatu prestasi yang luar biasa bagi sebuah korporasi penerbangan di saat seluruh raksasa penerbangan dunia merugi karena resesi. Mudah-mudahan ini keuntungan nyata bukan hasil polesan manajemen yang menyesatkan publik dan pemegang saham atau bahkan Presiden yang telah mengacungkan 2 jempolnya di depan pesawat baru PT GA.
Dari laporan tahunan keuangan PT GA terlihat bahwa total penerimaan perseroan dari penumpang tahun 2008 meningkat sebesar Rp 14.119.721.551.793 (penerimaan tahun 2007 sebesar Rp 10.230.163.369.194). Berdasarkan data tambahan, pada komponen penerimaan dari penumpang per tahun 2008 ternyata ada sub penerimaan yang berasal dari FS, yaitu sebesar Rp 3.773.902.096.298 (pada laporan keuangan yang saya dapat ditulis sebagai : 400017 PAX REV-INSURANCE AND FUEL SURCHARGE) tetapi patut diduga ini merupakan total penerimaan dari FS saja, tanpa asuransi. Pada tahun 2007 peneriman dari FS hanya sebesar Rp 1.431.967.292.531.
Besaran FS berbeda-beda tergantung jarak atau rute penerbangan, namum besarannya patut diduga ditetapkan suka-suka oleh maskapai penerbangan. Sebagai contoh, saya baru saja membeli tiket kelas ekonomi Garuda Indonesia (GA) Jakarta (CGK)-Pekanbaru (PKU) pp seharga Rp 1.990.000 seperti yang tertulis di tiket elektronik. Harga tersebut dirinci sebagai berikut : harga tiket murni sebesar Rp 1.300.000; pajak Rp 130.000 (kodeID); asuransi Rp 20.000 (kode IW) dan fuel surcharge sebesar Rp 540.000 (kode YQ). Artinya konsumen harus menanggung FS yang nilainya sebesar 27% dari harga tiket! Apa dasar perhitungannya? Tidak ada yang tahu.
Pesawat yang saya gunakan dari CGK menuju PKU adalah B 737-300 milik maskapai PT GA yang berisi 16 tempat duduk kelas bisnis dan 94 tempat duduk kelas ekonomi, atau total 110 tempat duduk. Dari data yang saya dapat, pesawat ini membutuhkan bahan bakar (avtur) untuk rute CGK - PKU sebanyak 5.012 liter. Harga avtur di CGK saat ini adalah sekitar Rp 5.819/liter. Jadi biaya bahan bakar atau fuel cost CGK-PKU adalah 5.012 liter x Rp 5.819/liter = Rp 29.163.423. Jika hanya 85% kursi terisi atau 94 penumpang dan FS CGK-PKU adalah Rp 270.000/penumpang, maka total FS yang dinikmati PT GA untuk rute CGK - PKU adalah 94 x Rp 270.000 = Rp. 25.380.000.
Dari perhitungan di atas maka total biaya bahan bakar yang dibiayai oleh FS adalah 87%. Bukan main! Padahal di komponen tiket sudah termasuk biaya bahan bakar. Jadi pendapatan sebear Rp 25.380.000 untuk sekali jalan rute CGK-PKU adalah pendapatan tambahan hasil memperdaya konsumen. Patut diduga ini perampokan!
Sedangkan untuk penerbangan internasional, umumnya PT GA tidak mengenakan FS, kalau pun ada kecil sekali. Jadi GA membebankan biaya bahan bakar untuk penerbangan internasional ke penumpang domestik. Teganya....teganya....
Pertanyaannya, mengapa FS digunakan untuk menambah keuntungan bukan menutup kerugian akibat kenaikan harga BBM (avtur)? FS diizinkan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) hanya untuk menutup kerugian bukan menambah keuntungan perusahaan. Artinya maskapai penerbangan, dalam hal ini PT GA patut diduga telah membohongi konsumen. Untuk itu harus ada pertanggungjawaban manajemen PT GA kepada konsumen. Tentunya maskapai penerbangan lainnya pun patut diduga juga melakukan hal yang sama, membohongi konsumen.
Apa yang Harus Dilakukan Konsumen?
Pengenaan FS oleh maskapai penerbangan seperti PT GA telah melanggar Pasal 10 ayat (a) UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: "Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa. Untuk itu sanksi hukumnya sesuai Pasal 62 adalah penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Sebagai konsumen, sebaiknya konsumen penerbangan secara bersama-sama segera melakukan somasi kepada Menhub karena patut diduga Menhub telah melakukan pembiaran hukum di mana maskapai penerbangan dapat menentukan besaran FS semena-mena yang merugikan konsumen. Somasi juga ditujukan kepada INACA (Indonesia National Air Carriers Association) dan perusahaan penerbangan yang patut diduga telah memeras konsumen melalui pengenaan FS yang semena-mena. Jika somasi tidak ditanggapi maka konsumen harus melakukan tuntutan hukum berdasarkan UU No 8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.
Patgulipat semacam ini tidak bisa dibiarkan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus merekomendasikan pada Pemerintah untuk segera membatalkan pengenaan FS ini kepada konsumen. Menhub juga harus turun tangan dan jika Menhub tidak sanggup, maka dengan sangat menyesal harus meminta Presiden untuk turun tangan agar FS dihentikan karena merugikan penumpang. Kalau pun masih perlu FS, besarannya harus disesuaikan dan penetapannya harus diperdebatkan di publik, tidak ditentukan secara diam-diam oleh manajemen maskapai penerbangan seperti apa yang dilakukan oleh PT GA.
* Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)
(nrl/nrl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar