Sabtu, 24 Oktober 2009
















Mereka eks-Karyawanan PT. Hudson Advisors Indonesia 1





















Mereka eks-Karyawanan PT. Hudson Advisors Indonesia
















Ki-Ka : Suherman, A. Karim DP, A.M. Fatwa dan Andi Moersalim




Data Pribadi Shri Tjahyadi Bahrain di SMK Pustek Serpong


APORAN IPTEK Menyingkap Tabir Misteri Penuaan

LAPORAN IPTEK
Menyingkap Tabir Misteri Penuaan

Rabu, 21 Oktober 2009 | 02:56 WIB

IRWAN JULIANTO

Anda yang gemar menonton The Oprah Winfrey Show tentu tak asing dengan wajah dr Mehmet C Oz. Ia begitu piawai menjelaskan ihwal kesehatan dan kedokteran yang rumit dengan amat sederhana dan populer. Tak heran jika buku yang ia tulis bersama dr Michael F Roizen tahun 2007 berjudul You Staying Young: The Owner’s Manual Extending Your Warranty menjadi best seller nomor satu New York Times.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan baru saja diterbitkan oleh Penerbit Qanita (grup Mizan) dengan judul Staying Young: Jurus Menyiasati Kerja Gen agar Awet Muda Sepanjang Hidup. Yang menarik, di dalam buku ini dibahas dua hal, yaitu telomer dan mitokondria, keduanya bagian dari sel yang memengaruhi cepat lambatnya proses penuaan kita.

Tentang telomer, ternyata tahun ini tiga peneliti yang menyelidikinya: Carol Greider, Elizabeth Blackburn, dan Jack Szoztak, memperoleh Hadiah Nobel Kedokteran. Mereka dinilai berjasa menemukan bagaimana kromosom-kromosom dilindungi telomer dan enzim telomerase sehingga proses penuaan dapat diperlambat. Telomer sering dibandingkan dengan bagian plastik pada ujung- ujung tali sepatu (aglet) yang menahan agar tali sepatu itu tidak terurai (Kompas, 6/10).

Dalam buku You Staying Young, Oz dan Roizen menulis: ”Setiap kali sel-sel kita membelah diri, telomer akan memendek, seperti ujung tali sepatu yang usang karena terlalu sering dipakai. Saat pelindung di ujung kromosom lepas, DNA dan tali sepatu Anda akan berumbai dan menjadi lebih sulit dipakai. Itu yang menyebabkan sel-sel berhenti membelah dan berkembang. Saat sel-sel menyadari tidak dapat lagi membantu Anda, program bunuh diri sel (apoptosis) diaktifkan, yang akan memengaruhi kondisi penuaan. Namun, tubuh Anda juga memiliki protein— disebut telomerase—yang secara otomatis melengkapi dan menata ulang ujung-ujung kromosom supaya sel-sel tubuh (dan Anda) tetap sehat.”

Telomer yang pendek di antaranya dapat terjadi karena hidup yang penuh stres. ”Tekanan hidup yang berat dapat berpengaruh besar terhadap cara sel tubuh membelah diri—atau berhenti membelah diri. Dengan meditasi, Anda akan mampu memperbaiki telomer dan memperlambat penuaan,” demikian Oz dan Roizen.

Mitokondria seperti generator

Bagaimana dengan mitokondria? Jika telomer terdapat di kromosom dalam inti sel, mitokondria terdapat di luar inti sel. Di dalam satu sel tubuh kita terdapat ratusan mitokondria, yang berfungsi mengubah nutrisi yang berasal dari makanan menjadi bentuk energi yang dimanfaatkan tubuh dalam menjalankan fungsinya.

”Mereka berperan sebagai penggerak utama proses metabolisme. Fungsi dan kondisi disfungsi mereka menjadi tulang punggung yang membangun teori penuaan,” tulis kedua dokter Amerika ini, yang membandingkan mitokondria dengan gedung pembangkit listrik tubuh.

Jika mitokondria diiris horizontal, akan terlihat pola mirip labirin, dan di dalam satu mitokondrion terdapat lusinan untai asam deoksiribo-nukleat (DNA). Saat mitokondria mengubah makanan menjadi bentuk energi, mereka menghasilkan radikal bebas oksigen—molekul-molekul penyebab terjadinya peradangan yang berbahaya bagi mitokondria. Ibarat pabrik yang sudah tua, mitokondria yang menua memuntahkan lebih banyak limbah industri ke lingkungan.

Kian banyak radikal bebas akan lebih banyak kerusakan terhadap DNA mitokondria sehingga kerja mereka tidak efisien. Berarti mitokondria tidak memperoleh sebagian besar energi yang berasal dari pembakaran gula dan oksigen. Akibatnya, terjadi penurunan kadar adenosin trifosfat (ATP), sumber energi utama, walaupun tubuh kita mendapat asupan nutrisi yang cukup.

Kerusakan akibat radang yang terjadi dalam sel tubuh dan mitokondria ini menyebabkan beberapa gangguan yang berhubungan dengan penuaan, di antaranya penyumbatan arteri yang menyebabkan serangan jantung. Kerusakan mitokondria juga terjadi pada penderita diabetes karena mitokondria memengaruhi kemampuan pankreas dalam memproduksi insulin.

Penjelasan populer tentang mitokondria di atas dipuji oleh Prof Dr Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti dan telah menulis ratusan makalah tentang aparat sel tubuh ini. ”Memang betul mitokondria itu mirip generator penghasil listrik dan energi dalam tubuh kita,” katanya ketika ditemui kemarin.

Menurut Sangkot, riset tentang ATP yang sebagian besar dibuat di mitokondria itu telah menghasilkan dua buah Hadiah Nobel Kimia, yaitu tahun 1978 untuk Peter Mitchell (yang menemukan model transfer energi biologis lewat formulasi teori osmotik kimiawi yang lazim disebut sebagai Proton Motive Force) dan tahun 1997 bagi Paul D Boyer, John E Walker, dan Jens C Skou yang membuktikan terjadinya proses sintesis ATP.

”ATP yang dihasilkan mitokondria dipakai oleh tubuh kita untuk pergerakan, panas tubuh, dan pertumbuhan/regenerasi. Perlambatan proses penuaan dapat diintervensi dengan meningkatkan efisiensi produksi ATP, antara lain dengan konsumsi vitamin K, vitamin C, dan koenzim Q10,” tutur Sangkot.

Penelitian dan teori Sangkot tentang kaitan mitokondria dan proses penuaan ini di antaranya pernah dipublikasikan di jurnal Lancet, 25 Maret 1989. ”Saya dan beberapa peneliti lain menemukan bahwa aktivitas mitokondria manusia terus menurun seiring dengan meningkatnya usia. Batas usia tertinggi manusia maksimum adalah 120 tahun. Mau berumur panjang lebih panjang lagi? Hambat kerusakan mitokondria,” katanya.

Betapapun peran mitokondria tak bisa dipandang kalah penting daripada telomer. Hanya peluang memperoleh pengakuan seperti Nobel Kedokteran, menurut Sangkot, jauh lebih sulit karena biologi molekuler mitokondria jauh lebih sulit dan kompleks ketimbang telomer. Kendati ia termasuk salah satu perintis teori kaitan kerusakan mitokondria dan penuaan, kesibukannya sebagai pemimpin sejak Institut Ejikman dihidupkan lagi tahun 1990 membuat peneliti lain seperti Doug Wallace (AS) leading.

Hal yang melegakan Sangkot, jurnal Nature tahun 2004 pernah memublikasikan temuan tentang mencit transgenik yang mengalami penuaan dini karena sintesis DNA mitokondrianya dihambat. Prof Yazuo Kagawa, tokoh sintesis ATP, mengirim kartu tahun baru dan menyatakan teorinya terbukti. Juga untuk kumpulan makalahnya tentang mitokondria tahun 1974-1995 yang ia serahkan ke Universitas Monash, Melbourne, tahun 1997 untuk doktor tinggi (DSc)-nya, dua profesor yang menilainya mengakui kontribusi Sangkot dalam menerangkan kaitan penuaan dengan kerusakan mitokondria.

Tidak mustahil bakal ada Hadiah Nobel Kedokteran untuk riset kaitan mitokondria dan penuaan, dengan atau tanpa Sangkot. Tabir misteri penuaan pun kian tersibak....

Jusuf Kalla Telah Mengukir Sejarah

Kamis, 22 Oktober 2009 | 04:28 WIB

Endang Suryadinata

Jusuf Kalla baru melepas atribut wakil presiden seiring tampilnya Boediono mendampingi Presiden Yudhoyono. Posisi wapres disandang JK selama lima tahun, 20 Oktober 2004-20 Oktober 2009.

Dengan tidak menjabatnya JK sebagai wapres lagi, berarti selama 64 tahun, di Indonesia belum pernah ada wapres menjabat dua kali, kecuali Moh Hatta yang menjadi wapres sejak 1945 dan mundur 1956. Sejarah mengukir JK sebagai negarawan yang patut diapresiasi. JK telah mengukir sejarah bagi bangsanya.

Sejarah apa?

Sejarah apa yang harus dikenang dalam diri JK? Harus diakui, dibandingkan dengan para wapres Indonesia sebelumnya, JK memiliki keunikan, membuat para lawan politiknya kagum. Keunikan itu antara lain JK bukan sekadar ”ban serep” bagi Presiden Yudhoyono. JK tidak sekadar menjadi pembantu presiden yang serba menunggu perintah presiden. Sesuai konstitusi, JK berani mengambil inisiatif saat Presiden sedang tidak mungkin mengambil keputusan.

Indonesia terlalu luas untuk diurus satu orang, begitu pernyataan JK. Gaya ini memunculkan anggapan, JK melampaui kewenangannya sebagai wapres sehingga pada awal pemerintahan SBY-JK, sering ada pertanyaan, ”Ini duet atau duel?”

Misalnya saat terjadi tsunami Aceh, 26 Desember 2004, JK menggelar sidang kabinet untuk merespons tsunami yang begitu masif dampak dan eskalasinya. Saat itu Presiden Yudhoyono sedang tidak ada di Ibu Kota.

Pascatsunami Aceh, JK berperan penting bagi perundingan damai GAM-Pemerintah RI, yang difasilitasi Swedia, sehingga melahirkan perjanjian damai Helsinki, 18 Agustus 2005, yang ditandatangani Hamid Awaludin (Menteri Hukum dan HAM, atas nama RI), Malik Mahmud (atas nama GAM), disaksikan Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia sekaligus fasilitator proses negosiasi.

Pada kampanye pilpres lalu, soal siapa yang paling berjasa bagi perdamaian Aceh menjadi jualan politik guna merebut suara. Ada rebutan klaim di kubu tim sukses SBY atau JK. Namun, kita lupa, yang mendapat Nobel Perdamaian 2008 justru Martti Ahtisaari. Dalam pidato penerimaan Nobel Perdamaian 2008, Ahtisaari berpendapat, keberhasilan perdamaian di Aceh karena didukung semua pihak, termasuk kedua pemimpin Indonesia, Presiden SBY dan Wapres JK.

Yang pasti, perjanjian damai Helsinki menguntungkan warga Aceh tanpa merugikan kesatuan dan martabat NKRI. Sejarah dunia tidak akan lengkap jika tidak menyebut kontribusi JK. Ini bukan mau menonjolkan peran JK. Menyebut kecilnya kontribusi JK dalam perdamaian Aceh bisa mengurangi porsi yang telah diperankan JK bagi Aceh dan ini tidak obyektif.

Memang, masih banyak kontribusi JK, seperti penyelesaian masalah Poso, kebijakan bantuan langsung tunai, dan konversi minyak tanah ke gas yang awalnya mengundang resistensi.

Pakar efektivitas

Dalam pilpres lalu, perolehan suara JK dan pasangannya, Wiranto, di posisi terbawah. Namun, kelas menengah Indonesia—kelompok yang punya modal, kemampuan, dan pengaruh besar negeri ini—terkesan pada efektivitas JK dan gayanya yang kadang kocak. Wapres Boediono pun mengakui, JK tokoh paling efektif dalam melaksanakan sesuatu. JK adalah pakarnya.

Efektivitas seperti itu seharusnya diambil seorang pemimpin negeri berpenduduk 230 juta dengan wilayah amat luas ini. Sebab, bila pemimpin tidak efektif, akan kian banyak persoalan menggunung. Efektivitas JK perlu untuk memangkas birokrasi kita yang sering dicap tambun, lamban, dan berprinsip membuat sulit segala hal yang sebenarnya bisa dibuat mudah. Berlatar belakang pengusaha, JK tidak sabar jika urusan perizinan atau pengadaan infrastruktur harus makan waktu lama.

Tak kalah penting, JK tidak memutus tali silaturahmi dengan Presiden Yudhoyono pascakompetisi pada pilpres. JK pernah melontarkan pernyataan menggelitik, enam presiden negeri ini saling tidak bertegur sapa sehingga memberi contoh buruk bagi rakyat. JK tahu, mana ranah politik dan mana ranah sebagai sesama manusia. Ini patut diteladani sehingga orang tidak terus-menerus bermusuhan.

Masih ada serangkaian kebijakan dan tindakan JK lainnya. Namun, ini jangan ditafsirkan seolah kontribusi JK besar sekali. Ini melebih-lebihkan. Namun, tidak obyektif juga jika disebut kontribusi JK kecil. Paling tidak kontribusi JK ada dan harus diakui. Tulisan ini tak hendak mengultuskan JK. Ini adalah apresiasi bagi JK yang baru melepas atribut wapres dan menjadi warga negara biasa. Sejarah Indonesia jelas tidak lengkap tanpa sosok JK. Terima kasih JK.

Endang Suryadinata Penulis; Tinggal di Belanda

Orang Bodoh yang Beruntung

Orang Bodoh yang Beruntung

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 05:18 WIB

Gede Prama

Bagi sejumlah orang pintar yang menganggap dirinya layak menjadi menteri, bulan Oktober 2009 adalah bulan mendebarkan. Ada yang mulai menghitung kancing: dipilih, tidak, dipilih, tidak.

Andaikan rambu-rambu etika memungkinkan, bisa jadi banyak calon menteri akan meniru calon anggota legislatif yang memasang iklan: ”pilih saya karena lebih pintar”. 0rangtua juga serupa, tidak ada yang berdoa agar anaknya bodoh kelak.

Ribuan tahun lalu, saat manusia mulai mengagumi kepintaran, tidak terbayangkan jika kepintaran akan bersahabat dengan kehancuran. Perhatikan skandal-skandal besar yang mengguncang dunia, teror, dan perang yang memakan banyak nyawa manusia, tidak ada yang dilakukan orang-orang desa yang ”bodoh”. Semua diotaki orang kota yang berpendidikan tinggi.

Dari sini, terlalu dini menyimpulkan bahwa kepintaran itu berbahaya. Orang pintar berperilaku jahat ada, orang pintar dengan perilaku menyentuh juga ada. Pertanyaannya, mengapa kepintaran kian bersahabat dengan kelicikan dan keruntuhan?

Perhatikan sebagian percakapan di antara orang-orang pintar. Begitu kepentingannya tidak terpenuhi, dicarilah argumen yang bisa meruntuhkan orang lain. Sebaliknya, jika kepentingannya terakomodasi, pendapat yang diungkapkan cenderung yang mendukung. Maka di Barat terjadi keruntuhan kepercayaan besar-besaran terhadap orang pintar yang membuka pintu pada munculnya budaya tanding. Sekaligus menghadirkan dahaga mendalam akan kebijaksanaan Timur yang berisi kejujuran, ketulusan, dan kerendahhatian.

Di Timur gejala ke arah itu ada. Thailand adalah sebuah guru. Munculnya orang pintar seperti Thaksin Shinawatra sempat mencuatkan kemajuan sebentar. Namun, sebagaimana perilaku kepintaran yang mengundang kepintaran lain untuk melawan, Thaksin diturunkan oleh dugaan skandal, diikuti berkali-kali kekacauan yang menakutkan. Malaysia dengan cerita Anwar Ibrahim, Iran yang memanas pascapemilihan presiden, Madagaskar yang ditandai banyak kudeta, hanya sebagian gejala yang mungkin membukakan datangnya budaya tanding di Timur.

Karena itu, tanpa persiapan dan kepekaan cukup, Indonesia berpotensi dikacaukan oleh hadirnya budaya tanding. Perhatikan orang-orang pintar yang diberi kesempatan oleh reformasi untuk mengubah keadaan di birokrasi. Sebagian keluar dari gelanggang tanpa tanda-tanda kemenangan. Sebagian kecil masuk lembaga pemasyarakatan karena terjaring perkara korupsi. Melihat kecenderungan ini, menakuti kepintaran bukan jalan keluar yang disarankan.

Suara kebijaksanaan

Tetua di Jawa punya pesan indah sekaligus menggugah. Orang bodoh kalah sama yang pintar. Manusia pintar ditaklukkan oleh orang licik. Namun, ada jenis manusia yang tidak bisa ditaklukkan oleh kelicikan, yakni orang beruntung. Mungkin itu sebabnya tersisa banyak orang Jawa yang senantiasa beruntung. Bila kecelakaan patah tulang, untung patah tidak mati. Jika mati, untung mati tidak cacat.

Bagi sejumlah orang pintar, cara memandang kehidupan yang penuh keberuntungan seperti ini mudah diberi judul tolol. Ada yang mengejek dengan tawa. Namun, bagi penekun kebijaksanaan, wajah kehidupan yang penuh keberuntungan adalah tanda-tanda jauhnya penggalian seseorang ke dalam dirinya.

Pertama, ia menjadi pertanda bertekuk lututnya hawa nafsu yang mau semua serba sempurna.

Kedua, terbukanya pintu kehidupan yang jauh lebih luas dari sekadar mementingkan diri.

Ketiga, seperti anak ayam yang keluar bebas dari telur, demikian juga manusia yang melihat keberuntungan di mana-mana. Ia sudah terbebas. Setidaknya terbebas dari kepintaran yang picik, sekaligus kelicikan yang tidak mendidik.

Maka ada yang berpesan, bila anak ayam dipenjara kulit telur, manusia dikerangkeng oleh kepicikannya. Perbedaan antara yang tercerahkan dan yang tak tercerahkan adalah perbedaan antara keterbukaan dan kepicikan, demikian kira-kira bunyi pesan aslinya. Untuk itu, banyak kursi birokrasi sekaligus korporasi yang rindu sekaligus lapar akan orang-orang bodoh yang beruntung (baca: keseharian yang bersahabatkan pelayanan dan keterbukaan. Beruntung karena keterbukaan dan pelayanan mudah sekali menghadiahkan kebahagiaan).

Bagi sebagian orang pintar, pelayanan hanya pekerjaan orang rendah. Keterbukaan pikiran kerap dicaci dengan ketiadaan sikap. Ini bisa terjadi karena kepintaran menghargai diri amat tinggi, meletakkan pelayanan sebagai sesuatu yang rendah. Kepintaran membuat kotak. Yang cocok dengan kotak jadi teman, yang tidak cocok disebut musuh.

Padahal, sebagaimana dialami bersama, kehidupan bergerak tanpa kotak. Seperti melihat Indonesia, bila ukuran yang digunakan adalah Singapura, apalagi China, Indonesia hanya negara yang tidak diurus. Bila acuannya adalah negara-negara yang baru mengenal telepon genggam seperti Afganistan, Kamboja yang ibu kotanya berisi sedikit lampu pengatur lalu lintas, apalagi sebagian Afrika yang harapan hidupnya 39 tahun, Indonesia memiliki banyak hal yang layak disyukuri. Keinginan maju selalu menggunakan yang lebih tinggi sebagai pembanding. Namun, seperti mobil yang dipaksa berlari kencang, di suatu tanjakan, akan terbakar. Tanda-tanda akan terbakar mulai terlihat. Bom teroris, pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi, orang menekuni hukum bukan untuk diikuti, tetapi untuk dicari celahnya.

Di tanjakan-tanjakan yang nyaris terbakar, energi panas kepintaran memerlukan kesejukan air kebijaksanaan. Bekerja, belajar, dan berdoa tentu terus dilakukan karena ini yang membuat kehidupan berputar. Namun, menarik udara segar kehidupan melalui pelayanan dan keterbukaan amat membantu dalam membuat kehidupan agar tidak terbakar. Seorang sahabat bodoh yang beruntung pernah mengirimkan pesan singkat: ”sebagaimana air yang sejuk dan lembut senantiasa mengalir ke tempat-tempat rendah, demikian juga dengan orang-orang yang rendah hati, kesehariannya juga sejuk dan lembut”.

Gede Prama Penulis Buku Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing

Mutu Pendidik yang Mengecewakan

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 05:20 WIB

ALI KHOMSAN

Kinerja guru tampak meningkat saat mengurus proses sertifikasi. Namun, setelah itu, mereka kembali bertugas seperti semula, tak ada perbaikan performans.

Karena itu, guru yang baik, yang telah maupun belum mendapat sertifikasi, perlu terus mendapat pelatihan, aktif mengikuti seminar atau lokakarya untuk mendapat wawasan tambahan guna memperbaiki kinerjanya di sekolah.

Harus disadari, perjalanan sertifikasi pendidik hingga kini belum berjalan mulus. Sebagian guru kesulitan memenuhi syarat mengajar 24 jam seminggu, padahal ini merupakan prasyarat dibayarkannya dana sertifikasi. Di lain pihak, meski sudah mengajar 24 jam, dana sertifikasi belum rutin keluar, dirapel empat atau enam bulan sekali. Entah di mana mismanajemen terjadi. Departemen Pendidikan Nasional berdalih, dana sudah dialokasikan sampai kabupaten atau kota dan keterlambatan pembayaran sertifikasi bukan salah pemerintah pusat.

Kenyataannya, banyak guru masih harus bersabar menunggu realisasi pencairan uang sertifikasi. Jika pembayaran hak-hak guru tersendat-sendat, kinerja guru pasti juga terseok-seok.

Meneliti

Hal lain terkait kinerja pendidik adalah keinginan guru untuk mampu meneliti. Ini jauh panggang dari api. Selama ini, guru tak pernah disiapkan sebagai peneliti. Guru tidak seperti dosen yang tugasnya tecermin dalam tridarma perguruan tinggi (mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat).

Kini sebagian guru pangkat atau golongannya stagnan pada golongan IVa. Untuk naik ke pangkat lebih tinggi, guru wajib membuat karya ilmiah (sebagian merupakan hasil penelitian). Hal ini memaku guru pada posisi golongan IVa dan sulit naik golongan lagi.

Adalah kenyataan, saat ini dana Depdiknas cukup berlebih daripada tahun-tahun lalu. Alangkah baiknya jika guru diberi pelatihan intensif cara membuat proposal penelitian, cara meneliti, dan cara menulis karya ilmiah. Selain itu, Depdiknas harus mengalokasikan dana riset bagi guru dengan topik-topik terkait masalah peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, keinginan guru agar meningkatkan performansnya dapat terwujud.

Sebuah survei mengungkapkan, kini banyak generasi muda bercita-cita menjadi guru. Perguruan tinggi pencetak guru yang dulu disebut IKIP kini bakal naik daun. Di balik kepiluan guru menanti uang sertifikasi, ternyata profesi ini akan kian diminati.

Maka, logis jika kini nasib guru tak lagi memilukan. Berpuluh tahun bangsa ini mengabaikan nasib guru. Guru menjadi kurang terhormat karena nyambi pekerjaan di mana-mana, mulai dari memberi les privat, tukang ojek, bahkan ada yang menjadi pemulung. Amat ironis, karena kita sadar, tidak ada presiden tanpa ada guru, tidak ada orang hebat tanpa guru. Karena itu, menghargai profesi guru dan meningkatkan kesejahteraan guru seharusnya dilakukan sejak dulu.

Profesi yang berbeda

Guru adalah profesi yang harus dibedakan dengan profesi pegawai negeri sipil lainnya. Guru adalah penentu kualitas sumber daya manusia di masa depan. Kebijakan yang tidak memihak guru atau sekadar menyamakan guru dengan PNS lain akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Bangsa yang kurang menghargai pendidik dan menomorduakan pendidikan akan terpuruk Indeks Kemajuan Manusia (HDI)-nya. Kenyataannya, kita selalu di peringkat rendah dalam hal HDI. HDI rendah adalah cermin karut-marutnya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.

Guru harus menjadi profesi yang membanggakan. Jika PNS nonguru bergaji rendah lalu korupsi melalui kegiatan proyek, guru dan kepala sekolah jangan ikutan korupsi. Bila guru dan kepala sekolah korupsi, sirnalah penjaga moral bangsa, tak ada yang tersisa.

Pendidik di kalangan perguruan tinggi mungkin kaget membaca berita di media, tunjangan sertifikasi dosen dan guru besar dapat dihentikan. Baru berapa bulan dan berapa ribu dosen yang menikmati uang sertifikasi, muncullah aneka ancaman yang tidak perlu. Dikatakan, dosen harus melaksanakan tugas setara 12 SKS agar tunjangan sertifikasinya dapat dibayarkan. Sebenarnya ini bukan hal sulit karena aktivitas dosen bukan hanya mengajar, tetapi juga menulis buku, membuat proposal riset, meneliti, menjadi pemakalah seminar, sebagian menjadi anggota senat dan lainnya. Mayoritas dosen PTN dapat memenuhinya.

Apalagi sejak tahun lalu Depdiknas meningkatkan ketersediaan dana riset bagi dosen hingga Rp 1 triliun. Hal ini memudahkan dosen menerapkan tugas tridarma. Bahkan, para dosen yang mau mengirimkan karya ilmiahnya di jurnal internasional diberi dana Rp 30 juta-Rp 40 juta per artikel yang akan dimuat. Insentif semacam ini penting guna meningkatkan indeks penghargaan dan publikasi internasional.

Indonesia yang sedemikian luas dengan ratusan perguruan tinggi ternyata hanya menempatkan satu perguruan tinggi— UI—yang menembus peringkat 200-an sebagai perguruan tinggi terkemuka di dunia. Depdiknas dan pimpinan universitas-universitas besar di Indonesia harus memacu kinerja lembaganya agar gelar universitas berkelas dunia segera diraih.

Kiranya, para dosen PTN jangan tergiur untuk mengajar di universitas negara tetangga dengan iming-iming gaji Rp 20 juta-Rp 25 juta. Depdiknas kini mampu membayar guru besar setara Rp 13 juta sebulan. Apalagi yang kau cari?

ALI KHOMSAN Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB

KOLOM POLITIK EKONOMI Setahun Obama

KOLOM POLITIK EKONOMI
Setahun Obama

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 03:29 WIB

Budiarto Shambazy

Saat mendarat hari Sabtu terakhir Oktober 2008 di Bandara O’Hare, Chicago, AS, embusan angin menusuk tulang. Baju monyet, kaus dalam, kemeja, jaket, syal, kaus tangan, dan topi masih belum cukup menangkal rasa dingin. Temperatur hari itu 11 derajat celsius dan diperkirakan makin anjlok pada hari-hari berikutnya.

Cuaca tak nyaman itu tak menghalangi ribuan warga dari mancanegara yang datang menghadiri Election Night di Grant Park. Kapan lagi ikut pesta merayakan kemenangan Barack Obama? Apalagi, pada hari itu Obama telah mendapat julukan ”suci” yang tak sengaja diucapkan John McCain, ”The One” (Sang Terpilih).

Mungkin alam mencintai Obama, ramalan cuaca ternyata keliru. ”Indian Summer” datang tiba-tiba. Senin 3 November, atau sehari sebelum Election Night, temperatur malah naik ke 20-an derajat celsius. Matahari menampakkan senyum hangat.

”Obama dipilih rakyat dan juga direstui alam,” kata orang-orang. Keesokan harinya Grant Park disesakkan 600.000 orang sejak petang. Padahal, kepastian kemenangan Obama baru diketahui sekitar pukul 22.30 waktu setempat.

Saat monitor raksasa mengumumkan kemenangan Obama, gendang telinga seperti pecah. Anda bahkan tak bisa mendengarkan suara sendiri. Untuk pertama kalinya saya menyaksikan puluhan—mungkin ratusan—orang ”nangis bareng” tanda bahagia. Tua, muda, hitam, putih, pria, wanita, semuanya lega Obama menjadi presiden ke-44.

Waktu menghadiri pelantikan Obama di halaman Kongres di Washington DC medio Januari, cuaca mencapai minus 10 derajat celsius ditambah wind chill factor yang menyiksa. Sekitar 1,6 juta manusia sejak subuh menumpuk di The Mall. Mereka jadi buntalan karena mengenakan aneka pakaian/alat pelindung berlapis-lapis.

Rencana pemain cello top Yo Yo Ma dan rekan-rekannya tampil live dibatalkan karena khawatir pengaruh buruk cuaca terhadap senar—akhirnya mereka memperdengarkan rekaman saja. Dingin yang menusuk tulang memaksa siapa saja sesekali menggerakkan tubuh. Lagi-lagi, ”nangis bareng” tampak di mana-mana.

Suasana di Grant Park jauh lebih akrab dibandingkan dengan di Kongres. Di Grant Park menyampaikan pidato kemenangan, di Kongres ia berpidato sebagai presiden yang berdiri di atas semua golongan. Di Grant Park semua orang melepas emosi, di Kongres tiap orang berlaku khidmat.

Mengapa jutaan manusia dari berbagai pelosok Amerika Serikat dan mancanegara mau melakukan perjalanan spiritual menghadiri Election Night dan pelantikan Obama? Mengapa mereka menantang cuaca dan menyisihkan waktu, biaya, serta tenaga untuk menjadi saksi sejarah?

Pertama, Obama bukan politisi biasa. Ia memulai karier sejak usia awal 20 tahunan dengan niat dan tekad pengabdian yang melebihi politik semata-mata. Ia menjalani retail politics dari tingkat bawah dengan memperkenalkan diri di jalan-jalan Chicago membagi-bagikan pamflet seadanya.

Ia mengurusi remaja yang terjangkit narkoba, selokan mampat, kaum minoritas, sampai menggalang demo. Ia bukan John F Kennedy atau George W Bush yang beruntung lahir dari kalangan ”darah biru” politik yang sejak dini disiapkan mengabdi pada pemerintahan.

Kedua, ia mampu menjalani politik pengabdian berkat latar belakang moral, keyakinan ideologis, pendidikan formal, dan pengalaman organisasional memadai. Siapa pun, termasuk Obama, mengubah jalan hidup dari profesor di kampus menjadi politisi ibarat membalikkan telapak tangan belaka.

Selama melakoni proses pematangan politik tanpa melupakan pengabdian, selama tidak kehilangan moral, dan selama teguh dengan keyakinan politik, cepat atau lambat Anda akan berhasil membangun karisma. Itulah Obama yang sempat mengalami kesepian yang amat menyiksa karena mengabaikan kehidupan pribadinya demi politik.

Ketiga, sebagai minoritas, ia simbolisasi dari ”mimpi Amerika” yang pasti juga didambakan kita. Ia menjadi presiden kulit hitam pertama bukan karena mayoritas rakyat Amerika Serikat menganggap waktunya telah tiba, tetapi karena prestasinya sebagai politisi pengabdi. Pendek kata, tidak ada faktor kebetulan yang mendongkrak Obama.

Itu sebabnya ia dijuluki ”Sang Terpilih”. Justru saat situasi internasional abad ke-21 inilah dunia memerlukan Obama. Seperti kata mantan diplomat Makarim Wibisono, dunia pasca-Perang Dingin ini memasuki era pax universalis. Setiap negara di dunia yang makin menyatu ini sedang memperjuangkan universalisme.

Tanpa harus dibahas lagi, dengan sendirinya universalisme yang diperjuangkan Obama tentu saja kesetaraan. Tidak mudah bagi seorang presiden AS untuk mengulurkan tangan kepada Presiden Venezuela Hugo Chavez, membuka dialog dengan Iran meski hubungan diplomatik belum terjalin, atau melawat ke China.

Cepat atau lambat, rezim komunis di Pyongyang akan membuka diri. Sudah ada pertanda baik Iran siap berdialog tentang program nuklirnya dengan Obama lewat IAEA. Obama juga membatalkan rencana menggelar sistem rudal pertahanan di Eropa, langkah yang disambut sukacita Rusia.

Tiba-tiba Obama dianugerahi Nobel Perdamaian. Ada benarnya argumen Obama belum layak menerima Nobel karena belum membuktikan diri sebagai pemrakarsa perdamaian. Namun, keputusan itu diambil Komite Nobel—bukan Obama. Dengan sikap rendah hati, ia mengatakan belum layak menerima anugerah terhormat itu.

Obama menampilkan wajah AS yang lebih manusiawi. Tak mudah memperbaiki citra AS yang amburadul selama Presiden George W Bush memerintah. Ia dihujani kritik pedas, memaksanya mengubah tag line dari ”Yes We Can” menjadi ”Let Me Be Clear”. Percayalah, ia akan memimpin lebih tegas lagi menyelesaikan berbagai masalah, mulai dari jaminan kesehatan sampai Afganistan.

Setelah setahun, Obama tetap jadi harapan dunia. Sayang November ini ia batal ke Indonesia, negeri yang pernah membesarkan dia. Ia menghadiri KTT APEC di Singapura dan berkunjung ke Korsel, China, serta Jepang. Rupanya ia lebih kangen kimchi, somay, dan sushi daripada nasi goreng.

Kompas/Alif Ichwan
Sebelum rapat paripurna pertama Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimulai, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengabadikan rekan-rekannya di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (23/10).
KESEJAHTERAAN MENTERI
Kenaikan Gaji Sudah Direncanakan

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 03:33 WIB

Jakarta, Kompas - Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menjelaskan, rencana kenaikan gaji menteri bukan muncul bersamaan dengan terbentuknya kabinet baru. Rencana itu ada sejak periode pemerintahan lalu.

Akan tetapi, realisasi dari rencana itu akan ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan melalui pembahasan bersama DPR. Sudi mengemukakan hal itu seusai sidang kabinet paripurna di Jakarta, Jumat (23/10).

”Memang selama ini cuma gaji menteri dan presiden/wakil presiden yang belum naik,” ujar Sudi. Sebelumnya diberitakan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyiapkan usulan kenaikan gaji menteri (Kompas, 23/10).

Sudi belum bisa memastikan kapan rencana itu akan direalisasikan. ”Tentu semuanya harus didahului dengan aturan, tidak serta-merta naik,” katanya.

Secara terpisah, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan menambahkan, kenaikan gaji akan ditentukan berdasarkan perkembangan kondisi keuangan pemerintah.

Mantan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta menambahkan, perbaikan sistem remunerasi dan penggajian menteri memerlukan parameter kerja yang jelas, antara kinerja dengan penghargaan dan sanksi. Hal itu diperlukan karena beban kerja dan tantangan yang harus dihadapi menteri adalah untuk menopang keberhasilan presiden menjalankan tugas dan amanah rakyat.

”Sistem remunerasi dan gaji menteri sebaiknya diperbaiki dengan parameter kerja yang terukur sehingga bisa menjadi tolok ukur penilaian prestasi menteri,” ujar Paskah. Parameter kerja sebaiknya segera disusun pemerintah.

Sering tak cukup

Dari pelacakan Kompas, gaji seorang menteri sebulan sekitar Rp 19 juta. Jumlah itu dianggap tak memadai. Akibatnya, tak jarang seorang menteri harus mengeluarkan dana pribadi.

Paskah dan mantan Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta secara terpisah, Jumat, membenarkan besaran gaji yang diterima menteri setiap bulan itu. Namun, setiap menteri masih memiliki dana operasional yang besarnya Rp 100 juta-Rp 150 juta per bulan.

Dana operasional menteri bisa digunakan untuk pembelian tiket dan biaya perjalanan bila melakukan kunjungan kerja ke suatu daerah. Namun, pertanggungjawaban penggunaannya harus disertai kuitansi sebagai bukti.

Bila menteri itu merangkap menjadi pejabat di instansi yang berbeda, dia berhak mendapatkan honor. Seorang menteri yang merangkap jabatan lain bisa mengumpulkan honor tak kurang dari Rp 9 juta setiap bulan. Artinya, gaji yang diterima sesuai slip tak selalu sama dengan pendapatannya selama sebulan.

Namun, gaji menteri sudah lama tidak naik. Sesuai slip gaji, dalam dua tahun gaji itu hanya naik Rp 10.000.

”Padahal, sering kali pengeluaran menteri melebihi gaji yang diterima. Jumlahnya bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 20 juta,” kata Meutia. Seorang menteri memiliki tanggung jawab sosial memberikan bantuan selama menjalankan tugas.

Setiap kali kunjungan ke daerah, Meutia memperkirakan dana sebesar Rp 4 juta dihabiskan untuk bantuan kepada masyarakat. Itu tidak termasuk dana program departemen.

Tak hanya dia, ungkap Meutia, sejumlah menteri lain pernah mengungkapkan keluhan serupa. Namun, ia tak mempermasalahkan bila harus mengambil uang pribadi karena menjadi menteri adalah sebuah amanah yang harus dilaksanakan.

Mantan Menneg Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault enggan mengungkapkan penghasilannya selama menjadi menteri. Namun, ia sempat berkantor di rumah sebab kantornya belum siap. Ia hanya menyatakan, sebagai menteri, fasilitas kendaraan yang diterimanya adalah mobil Toyota Camry seharga Rp 350 juta.

Walaupun gajinya kecil, harta mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta selama dua tahun menjadi anggota kabinet bertambah sekitar Rp 800 juta. Hal itu terungkap dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang dia serahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat.

”Penambahan Rp 800 juta itu bukan hanya dari gaji,” katanya. Menurut Andi, penambahan hartanya itu berasal dari hasil pertanian, sawah, tambak, dan bunga bank. (day/eld/har/adh/aik)


Banyak Guru Tak Pantas Jadi Guru
Guru Harus Mampu Melayani Siswa

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 04:17 WIB

Jakarta, Kompas - Dari sekitar 2,8 juta guru berbagai jenjang pendidikan, banyak yang sebenarnya tidak layak menjadi guru profesional. Ketidaklayakan ini antara lain karena tingkat pendidikan guru yang tidak memenuhi syarat serta belum memiliki sertifikat pendidik.

Guru yang tidak layak ini sebagian besar justru guru di tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Di TK, berdasarkan data pendidikan nasional Depdiknas 2007/2008, sekitar 88 persen tak layak serta di tingkat SD sekitar 77,85 persen yang tak layak jadi guru.

Di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) sekitar 28,33 persen guru yang tak layak mengajar, di sekolah menengah atas (SMA) sekitar 15,25 persen, serta di sekolah menengah kejuruan (SMK) sekitar 23,04 persen.

Ketidaklayakan guru itu sebagian besar karena tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimum D-IV atau strata 1 yang kini dipersyarakatkan pemerintah. Guru yang mengajar di TK dan SMP umumnya berpendidikan SMA hingga diploma.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo di Jakarta, Jumat (23/10), mengatakan, meningkatkan mutu guru tidak bisa ditawar lagi. Peningkatan itu juga mesti seiring dengan peningkatan kesejahteraan guru.

”Harus ada keberpihakan semua pihak untuk menjadikan guru Indonesia bermartabat dan profesional. Harus diatur supaya gaji guru layak, minimal bisa sama dengan upah minimum di daerah,” ujar Sulistiyo.

Praktisi pendidikan Arief Rachman mengatakan, guru harus mampu melayani siswa dalam keragamannya sehingga potensi siswa bisa berkembang. Guru juga mesti berkreasi menciptakan sistem pembelajaran yang menyenangkan.

Secara terpisah, Bupati Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Idham Samawi mengatakan, Bantul merupakan kabupaten terbanyak yang memiliki guru pascasarjana. Dari sekitar 4.500 guru yang mengajar di semua sekolah di Bantul, 158 orang di antaranya mengantongi ijazah pascasarjana. Sebagian besar adalah pengajar di tingkat SMA dan SMK. ”Jumlah guru bergelar master tersebut terbanyak se-Indonesia,” kata Samawi. (ELN/ENY)
100 Hari Atasi Tumpang Tindih
Fokus Riset: Pangan, Energi, dan Transportasi.

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 04:11 WIB

Jakarta, Kompas - Selama 100 hari pertama sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Indonesia Bersatu II Suharna Surapranata menegas- kan akan membenahi kelembagaan penelitian dan pengembangan di Indonesia. Tujuannya untuk mengatasi tumpang tindih dan inefisiensi anggaran.

”Yang kita inginkan, ada kerja sama antarlitbang yang baik,” ujar Suharna, yang pernah menjadi karyawan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Kamis (22/10) petang di Jakarta, seusai serah terima jabatan dengan Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) terdahulu.

Pembenahan kelembagaan litbang ini sesuai amanat Presiden untuk mengatasi inefisiensi di lembaga riset akibat duplikasi program riset. ”Banyak hal yang mubazir,” kata Suharna.

Tindakan yang akan dilakukan itu mengacu pada tugas dan fungsi pokok Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), sebagai koordinator lembaga riset serta perencana kebijakan riset dan teknologi nasional.

Saat ini KNRT membawahi beberapa lembaga penelitian nondepartemen bidang riset teknologi (LPND Ristek), di antaranya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), serta Badan Standardisasi Nasional (BSN). Namun, di hampir semua departemen kelembagaan dan teknis juga ada lembaga litbang.

Dukungan pranata

Menurut Kusmayanto, pembenahan lembaga litbang di Indonesia, dalam artian memayunginya menjadi satu atap, saat ini tidak terdukung pranatanya.

Ia mengambil contoh tumpang tindih penelitian kelapa sawit. KNRT tidak bisa membuat penelitian itu sinergis atau harmoni sehingga terjadi tumpang tindih antara lembaga penelitian di bawah KNRT dan Departemen Pertanian (Deptan).

Untuk mengatasi tumpang tindih kelembagaan litbang antardepartemen membutuhkan pranata dari pemegang kewenangan yang lebih tinggi dari seorang menteri. Menurut Kusmayanto, langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasinya antara lain dengan membentuk komisi gabungan. ”Komisi gabungan penelitian sawit dengan Deptan pernah dibentuk, agar tidak tumpang tindih lagi,” ujarnya.

Program sebulan

Dalam sebulan ini, Suharna akan menyusun rencana strategis nasional untuk lima tahun mendatang serta melakukan konsolidasi intern dengan LPND Ristek.

Ia akan melanjutkan program yang dirintis pendahulunya dan mengacu ke Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2020; fokus pada ilmu pengetahuan dan teknologi bidang pangan, energi, teknologi informasi, transportasi, pertahanan keamanan, dan kesehatan.

Menurut arahan Presiden SBY, lanjutnya, akan ada penekanan lebih pada pangan, energi, dan transportasi. Di bidang pangan akan dikembangkan varietas unggul untuk meningkatkan ketahanan pangan. Di bidang energi dikembangkan aplikasi energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan sektor transportasi untuk memajukan industri strategis. (NAW/YUN)

ANTI KORUPSI Dengarkan Suara dari Tembok Kota

Sabtu, 24 Oktober 2009 | 03:32 WIB

Ahmad Arif

Ketika suara kritis dibungkam, tembok-tembok kota pun menjelma menjadi ruang penyampai pesan. Sebuah pesan perlawanan terhadap para koruptor yang mengisap uang rakyat.

Hampir tengah malam. Jakarta gerah. Jalan Gelora di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat itu lengang. Hanya sesekali kendaraan berlalu.

Delapan anak muda bergumul dengan kuas dan cat. Tangan-tangan mereka tangkas melabur tiang beton proyek monorel yang mangkrak. Warnanya merah menyala. Mobil polisi tiba-tiba datang, menepi. Petugas berseragam itu bertanya dari jendela mobil setengah terbuka.

”Kami sudah ada izin,” jawab seorang pemuda sekenanya. Polisi itu pun berlalu.

Tiba-tiba datang lagi lelaki lain. Dia mengaku dari kantor kelurahan. ”Tak boleh melukis di sini,” kata lelaki bernama Jefri. Dia ngotot. Anak-anak muda itu pun ngotot. ”Kami hanya bekerja, masalah izin sudah ada yang urus,” katanya.

Tak mau terjadi keributan, anak-anak muda itu pun mengalah. Mereka pergi meninggalkan pekerjaan separuh jadi. ”Kita kerjakan di tempat yang lain dulu. Masih banyak tembok lain,” seru seorang di antara mereka.

Lalu, mereka bergerak mengangkut cat dan alat-alat gambar lainnya ke arah Simprug. Baru separuh jalan ketika Jefri tiba-tiba menelepon. ”Itu cuma dicat merah saja, kan?” tanya dia. ”Merah dan sedikit gambar warna putih,” kata Ardi.

Entah mengapa, tiba-tiba Jefri luluh dan berkata, ”Kalau begitu dilanjutkan saja. Silakan, Mas.” Barangkali, begitu mendengar tentang ”merah dan putih”, nasionalisme Jefri terpompa.

Anak-anak muda itu putar haluan. Mereka meneruskan kembali pekerjaan yang tertunda. Menjelang dini hari pekerjaan mereka pun kelar. Hasilnya, sebuah gambar putih di atas latar merah tentang dua sosok lelaki yang saling berhadapan. Satu sosok besar dan gagah, dan seorang lelaki ceking dengan tangan terbelenggu yang bertanya, ”Mau berantas korupsi atau KPK?”

Gambar di tiang lainnya tentang buaya yang perkasa menginjak cicak. Sebuah sindiran tentang pergulatan ”cicak melawan buaya”.

Tak bisa dibungkam

Kisah tentang mural sarat pesan antikorupsi ini merupakan kelanjutan episode ”cicak melawan buaya”. Sebuah gerakan perlawanan yang mendapat inspirasi dari pernyataan petinggi Polri terkait dengan ”perseteruan” lembaga itu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena merasa (lembaga) lebih ”kuat”, muncullah pernyataan dari Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, ”Cicak, kok, melawan buaya.”

Irma Hidayana dari komunitas Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) mengatakan, kelompoknya terdiri dari orang-orang yang tak rela negaranya terus dibajak oleh koruptor dan centengnya. ”Saat ini KPK sebagai lembaga yang melawan korupsi dilemahkan. Pelemahan KPK berarti pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini,” katanya.

Anggota Cicak lainnya, Agam Faturrochman, mengatakan, Cicak dibentuk secara spontan untuk merespons kriminalisasi KPK. ”Tak ada koordinator, sekretaris, atau struktur organisasi. Keanggotaannya cair. Ada dari kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat), seniman, pengacara, pekerja swasta, dan lain-lain,” kata pekerja swasta ini.

Menurut Agam, mereka saweran untuk membiayai kampanye-kampanye antikorupsi. ”Tujuan kami mengingatkan semua pihak, khususnya pemerintah baru, untuk konsisten memberantas korupsi,” katanya.

Gerakan kritis, menurut Agam, justru akan semakin kuat ketika penguasa semakin otoriter dan tidak mau dikritik. Cicak juga tumbuh di beberapa kota lain, selain Jakarta.

”Kami akan terus menyebarkan virus antikorupsi di masyarakat. Yakinlah, jika KPK dimatikan, masyarakat tetap akan terus berjuang melawannya,” ujarnya.

”Setelah dua kawan dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dikriminalkan karena menyampaikan dugaan korupsi di kejaksaan, gerakan kritis antikorupsi justru akan semakin kuat. Kami pasti bisa menemukan cara,” kata Irma.

Sebelumnya komunitas Cicak menggelar pertunjukan musik dan pembacaan puisi. Semuanya disisipi dengan pesan-pesan kritik terhadap korupsi. Terakhir, mereka membuat mural yang menghiasi beberapa tembok di Ibu Kota. ”Dengan mural, masyarakat luas bisa membacanya di jalan-jalan,” kata Irma.

Tak hanya di tiang monorel di belakang Gedung DPR, selama beberapa malam terakhir anak-anak muda itu bergerilya melukis tembok kota dengan ajakan untuk bersatu melawan korupsi.

Beberapa tempat lain yang mereka lukisi adalah tembok jalan layang di Simprug, tiang pancang monorel di depan Pasar Festival di Jalan HR Rasuna Said, di Dukuh Atas, di Jalan Jenderal Sudirman, di perempatan Kuningan, Jalan Gatot Subroto, di perempatan Bioskop Metropole di Jalan Diponegoro, dan dinding Stasiun Cikini.

Semua lukisan itu berwarna putih di atas latar belakang merah, berisi tentang ajakan melawan korupsi, dan bisa dilihat warga Ibu Kota berbarengan dengan pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa (20/10). ”Kalau bersama-sama lebih mudah memberantasnya,” demikian pesan dari gambar tentang seekor ”tikus” yang dikepung.

Malam makin larut. Anak-anak muda itu terus bekerja. Di tangan mereka, tembok-tembok kota itu bersuara. Sebuah pesan yang jelas dan tegas kepada pemerintahan yang baru dibentuk. Pesan untuk melawan korupsi.

Meretas Jalan Jadi Presiden

Meretas Jalan Jadi Presiden

Minggu, 25 Oktober 2009 | 02:46 WIB

Qory Sandioriva sebenarnya punya cita-cita yang lazim sebagaimana banyak kaum muda yang menggebu-gebu. Hal yang membuatnya berbeda, pengagum bintang Hollywood Nicholas Cage ini telah jauh-jauh hari meretas jalan untuk menggapai cita-citanya.

Pilihannya menimba ilmu di Jurusan Sastra Perancis Universitas Indonesia adalah langkah awal mewujudkan keinginannya kelak menjadi diplomat. ”Saya juga ambil kursus piano klasik dan olah vokal. Sekarang ambil yang klasik karena sebelumnya sudah jazz dan pop,” tutur Qory. Kursus itu satu episode dalam hidupnya untuk meraih cita-citanya sebagai pemain musik dan penyanyi andal.

Tentu cita-cita berikutnya yang paling menarik. ”Saya ingin jadi presiden!” kata Qory begitu serius. Kedengarannya begitu kekanak-kanakan, bukan? Tetapi, sekali lagi, Qory amat serius dalam soal ini.

Begini. Sejak tahun lalu, perempuan berdarah Sunda-Gayo ini secara resmi menjadi anggota generasi muda sebuah parpol besar. Keanggotaannya itu mengikuti jejak kakeknya, Prof Mohammad Rizal, yang pernah menjadi anggota DPR serta ibunya, Hj Fariawati, yang sampai kini masih menjadi fungsionaris di partai politik yang dimasuki Qory.

Jalan mewujudkan cita-citanya untuk kelak menjadi presiden sudah ia rintis melalui partai politik. Kalau ketiga cita-cita itu tercapai? ”Amin!” kata Qory lugas dan tambah serius.

”Saya memang selalu serius, tetapi kalau bercanda bisa gila banget he-he-he,” ujar Qory seolah menyadari karakter seriusnya telah membuat lawan bicaranya kehilangan celah untuk bersenda gurau.

Soal pilihannya belajar sastra Perancis itu, Qory melihat Perancis adalah contoh negeri di mana kehidupan kesenian benar-benar mendapat tempat di hati negara dan warganya. ”Saya ingin belajar dari Perancis bagaimana mereka menghargai kesenian,” tekadnya. Soal bahwa kemudian diplomasi bisa dilakukan lewat kebudayaan, Qory memang belum banyak paham. Tetapi, ia tetap bertekad, suatu kali akan mempelajari seni tradisi Indonesia untuk merancang sebuah diplomasi yang lembut. ”Suatu saat saya akan belajar seni tradisi,” ujar dia.

Tak banyak remaja yang mempersiapkan benar jalan hidupnya untuk meraih cita-cita. Qory berbeda. Sejak awal ia sadar benar keterlibatannya dalam kompetisi kecantikan bernama Puteri Indonesia adalah bagian dari rencana besar dalam hidupnya: menjadi presiden! Serius juga, kan? (CAN/NMP)

Persiapkan sejak Usia 35 Tahun

Persiapkan sejak Usia 35 Tahun

Minggu, 25 Oktober 2009 | 02:39 WIB

Berbicara tentang masa pensiun berarti membicarakan orang-orang yang sudah masuk kategori lanjut usia. Untuk memahami berbagai masalah psikologis yang mungkin timbul pada mereka yang menjalani pensiun, perlu dipahami psikologi dari manusia yang memasuki tahapan lanjut usia ini.

Demikian diungkapkan guru besar psikologi dari Universitas Indonesia, Prof Dr Fawzia Aswin Hadis, di Jakarta, Kamis (22/10). Pakar psikologi perkembangan ini mengatakan, tahap lanjut usia adalah tahap akhir dari perkembangan hidup seorang manusia.

”Berbeda dari psikologi perkembangan anak yang masih tumbuh dan berkembang, psikologi lansia sudah terbentuk berdasarkan akumulasi perilaku dan pengalaman hidup sebelumnya,” papar Fawzia.

Selain itu, kondisi fisik para lansia ini juga dipastikan sudah menurun dibandingkan saat mereka lebih muda. Kombinasi faktor psikologi dan kesehatan ini menjadi penentu saat mereka memasuki masa pensiun.

Menurut Fawzia, beban paling berat seorang yang memasuki pensiun adalah berhentinya salah satu aktivitas rutin yang selama ini ia geluti. ”Pensiun pada dasarnya adalah penghentian suatu kegiatan. Sesuatu yang biasa dilakukan tiba-tiba berhenti. Kalau (kegiatan itu) tidak diganti dengan sesuatu yang baru, (yang bersangkutan) akan merasa sepi dan tidak berguna,” ungkap Fawzia.

Bertambah

Beban psikologis itu akan makin bertambah seiring dengan menurunnya penghasilan seorang pensiunan. Padahal, lanjut Fawzia, kaum lansia justru memiliki kebutuhan yang lebih besar dibanding dengan saat mereka lebih muda. ”Orang kebanyakan berpikir orang-orang tua itu sudah tidak memiliki kebutuhan, padahal, dengan kondisi kesehatan yang sudah menurun, kebutuhan mereka justru lebih besar, terutama untuk menjaga kesehatan itu,” kata Fawzia.

Itu sebabnya, selain menyiapkan tabungan hari tua yang cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut, seorang yang memasuki masa pensiun diharapkan sudah menyiapkan aktivitas pengganti untuk menghabiskan waktu pensiunnya tersebut.

”Seorang yang akan pensiun harus mempersiapkan aktivitas, apakah itu menekuni hobi atau mencari kesibukan lain, yang penting tidak melelahkan,” tandas Fawzia.

Bahkan, psikolog Wahyu Indianti menyarankan agar persiapan masa pensiun sudah dilakukan sejak seseorang berada pada usia puncak produktivitasnya, yakni antara 35-50 tahun. ”Seseorang sudah harus mulai menginvestasikan dana atau menabung untuk masa pensiun,” tutur psikolog dari UI ini.

Iin, panggilan akrab Wahyu, juga menyarankan agar para pensiunan bergabung atau membentuk komunitas beranggotakan orang-orang sebaya. Dengan begitu, mereka tetap punya kegiatan, berteman, dan bersosialisasi.

”Pensiunan tidak bisa mengharapkan anak-anaknya memerhatikan mereka terus, sebab anak-anak juga memiliki kehidupan dan kesibukannya sendiri,” ungkap Iin. (DHF/BSW)

Wardiman Djojonegoro (75), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, : Pensiun Bukan Berarti Harus Istirahat

Pensiun Bukan Berarti Harus Istirahat

Minggu, 25 Oktober 2009 | 02:40 WIB

Yulia Septhiani dan Budi Suwarna

Menjalani masa pensiun tidaklah mudah. Bukannya bisa menikmati hidup dengan tenang, pensiun justru bisa membuat stres jika tidak ada persiapan matang.

Wardiman Djojonegoro (75), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, pernah stres pada tahun pertamanya setelah pensiun sebagai menteri. Padahal, Wardiman sudah mempersiapkan diri sebelum pensiun.

”Karena banyak membaca buku tentang keadaan di Amerika Serikat dan Eropa, saya mempersiapkan sekadarnya. Tetapi, saat mulai pensiun, ternyata yang saya bayangkan sebelumnya tentang pensiun berbeda,” kata Wardiman.

Persiapan yang dilakukan adalah menyiapkan tabungan untuk keluarga, memberikan pendidikan kepada anak-anak, dan menerima masukan untuk menikmati hidup dengan melakukan berbagai hobi, seperti membaca buku dan fitness.

Di awal pensiun, Wardiman memang banyak mengisi waktu dengan menjalankan hobinya, yaitu fitness dan membaca buku. Dia juga bergabung bersama teman-temannya yang hobi golf.

”Tetapi, sesudah empat-lima kali golf jadi bosan karena tidak ada tujuan yang jelas,” kata Wardiman.

Wardiman pun stres. Karena dilampiaskan dengan makan, berat badannya naik 5-6 kilogram dalam setahun dan pernah mencapai 85 kg pada tahun 2001.

Anggota MPR 1992-1997 ini stres karena punya terlalu banyak waktu, tetapi tidak punya program. Dia kehilangan tim yang selama ini membantunya bekerja. Dia juga kehilangan teman-teman dan merasa dilupakan masyarakat.

Dalam kondisi inilah Wardiman mulai berubah. ”Saya mulai mengendalikan stres, misalnya dengan belajar pernapasan, lalu menjaga kondisi tubuh sesuai pesan dokter. Berat badan saya turun 22 kg dalam waktu 22 minggu,” kata Wardiman.

Selain menjaga kondisi fisik, Wardiman mulai menyibukkan diri. Dia belajar tentang komunikasi di lembaga public speaking Toastmasters, menjadi penasihat di Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan berceramah di Universitas Padjadjaran yang menjadi almamaternya.

Tahun 2004, kegiatannya bertambah dengan menjadi Ketua Yayasan Puteri Indonesia. ”Karena senang dengan keindahan, tawaran dari Panitia Puteri Indonesia saya terima,” kata Wardiman yang menilai perempuan itu sebagai keindahan.

Dengan berbagai kesibukan, Wardiman mulai merasakan hidup yang berkualitas. Berdasarkan pengalamannya ini, Wardiman pun tak setuju dengan pendapat bahwa pensiun adalah waktunya untuk istirahat total.

”Jalani saja hidup dengan normal, tidur 7-8 delapan jam sehari dan tetap berkarya,” kata Wardiman, yang juga menekankan betapa pentingnya persiapan mental menjelang pensiun.

”Ternak ricu”

Faktor mental juga menjadi fokus Daryanto (61) menjelang pensiun sebagai Sekretaris Dirjen di Departemen Pertanian. ”Saya berprinsip hidup itu, kan, seperti roda yang berputar. Suatu saat pasti berhenti. Jadi, ketika pensiun, saya tidak kaget,” kata Daryanto, yang menyiapkan kader untuk meneruskan pekerjaannya sebelum pensiun pada Februari 2009.

Untuk mengisi waktu luang saat ini, Daryanto menjalankan bisnis kecil-kecilan yang dia bangun bersama teman-temannya. Daryanto mengatakan, motifnya berbisnis tidak semata-mata ekonomi karena dua dari tiga anaknya sudah mandiri.

Lepas dari kesibukan kantor, Daryanto benar-benar menikmati hidup karena dia memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga. ”Sekarang pekerjaan saya ’ternak ricu’ alias anter anak, istri, dan cucu,” katanya sambil tertawa.

Daryanto kini juga bisa merawat pohon buah-buahan dan tanaman bunga di halaman rumah, yang dulunya diurus orang lain.

Latar belakang pendidikan sebagai sarjana pertanian Universitas Gadjah Mada tak hanya berpengaruh pada kesibukan ketika masih bekerja. Di saat pensiun, Daryanto menyumbangkan pemikirannya dengan memberikan konsultasi kepada pebisnis di bidang pertanian.

Berkarya setelah pensiun juga dilakukan Samiran (62), yang pernah bekerja sekitar 30 tahun di yayasan sosial Lembaga Daya Dharma. Meski kegiatan yang dilakukan saat ini berhubungan dengan pekerjaannya pada masa lalu, rencana yang dibuat Samiran sebelum pensiun justru berbeda.

”Semula, saya berencana dagang baju, dibantu istri saya yang suka menerima pesanan masakan atau kue,” cerita Samiran.

Akan tetapi, rencana ini batal dilakukan karena Samiran tetap bergelut di bidang sosial yang terjadi tanpa disengaja. Ceritanya bermula ketika Samiran diminta menunda pensiun selama dua tahun. Permintaan dari kantor ini diikuti Samiran karena belum ada orang yang menggantikan posisinya sebagai manajer program.

Sibuk dalam kegiatan sosial akhirnya berlanjut meski Samiran pensiun tahun 2004. Saat ini, dia membantu Australia and New Zealand Association (ANZA) untuk membuat program sosial, seperti mengadakan perbaikan gizi untuk anak-anak, memperbaiki sekolah rusak, dan membuat WC umum.

Beberapa gambar desain WC umum pun diperlihatkannya. Gambarnya sederhana, hanya gambar bangunan tampak samping, depan, dan atas.

Namun, proses pembangunan ternyata tak sesederhana gambarnya. ”Saya harus sosialisasi pada masyarakat yang menjadi target karena belum tentu mereka mau menerima program dari kami. Itulah seninya dari pekerjaan ini,” kata Samiran yang gemar merawat tanaman di saat punya waktu luang.

Saat merawat sirih hitam, jeruk limau, jambu air, belimbing wuluh, dan berbagai tanaman lainnya dalam pot, Samiran betah berlama-lama di halaman rumah, dari pagi sampai maghrib.

”Intinya, jangan menjadikan pensiun sebagai beban,” kata Samiran.

JK, MANTAN WAPRES RI : PERGI DENGAN KEBESARAN HATI

Minggu, 25 Oktober 2009 | 02:37 WIB

Sisa perhelatan belum dibereskan. Tenda di halaman belakang belum dibongkar. Para cucu bermain di ruang tengah, berteriak, berlarian, kadang masuk ruang tamu, mencandai sang kakek. Rumah belum dirapikan. Petang yang riuh, tetapi semua terasa apa adanya.

Begitulah suasana di rumah Muhammad Jusuf Kalla—akrab disapa JK—tanggal 20 Oktober 2009, beberapa jam setelah Wakil Presiden Boediono melakukan sumpah jabatan dalam acara pelantikan presiden di Gedung MPR/DPR, Selasa pagi.

”Bapak sedang mandi, tunggu sebentar ya…,” sambut Ny Mufidah Jusuf. ”Maaf, rumahnya masih berantakan,” ia menyambung, sebelum bercerita tentang kesibukannya pindah rumah dan menerima tamu yang mengalir hari-hari ini. Ia juga bercerita sekilas tentang rencana keluarga besar untuk berlibur.

”Belum tahu mau ke mana,” ujarnya, dengan tutur dan sikap yang mengisyaratkan peleburan jarak.

Putra dan putri pasangan JK dan Mufidah, satu per satu menyapa, ”Halooo…,” dengan wajah cerah dan senyum lebar, mengajak berbincang. Terasa tanpa basa-basi karena mereka masih ingat di mana dan pada kesempatan apa saja pernah bertemu.

JK muncul sekitar 10 menit kemudian, dengan kaki telanjang. ”Sandalnya belum ketemu. Ada di antara ratusan dos yang belum dibuka,” ujarnya, santai. Setelah lebih seperempat jam, baru sandal putih itu ditemukan.

Ia sama sekali tidak terganggu dengan ulah para cucu. Sebaliknya, terkesan sangat bangga. ”Cucu saya 10.”

Cucu-cucu dari empat anaknya—satu putrinya belum menikah—adalah permata hatinya. ”Yang nomor satu umurnya sudah 14 tahun, dari kecil tidur sama saya. Sampai sekarang kalau menginap di sini, masih tidur dengan saya, dengan kasur di bawah.”

Tampaknya, kehangatan keluarga adalah sumber kebahagiaannya. Barangkali itu pula yang membuat JK tak harus menjadi pribadi yang lain di ruang publik. Ia tetap seorang yang keras, terus terang, tak pernah menaruh dendam, dan tak pernah merasa punya rival.

”Warga biasa”

Secara resmi, JK baru beberapa jam memasuki masa pensiunnya. ”Menurut undang-undang, saya berhenti sebagai wapres setelah pengganti saya melakukan sumpah,” ujar dia.

Sebenarnya, dia tak harus buru-buru meninggalkan rumah dinasnya. Namun, JK tampaknya tak mau tinggal lebih lama. ”Ada perasaan sedih meninggalkan rumah yang selama lima tahun menjadi tempat tinggal dan bekerja. Tetapi, kembali ke kehidupan biasa itu sangat normal dan rumah saya ini sangat nyaman.”

Sejak selesai pilpres, jadwalnya jauh lebih longgar, setelah tahun-tahun yang begitu sibuk. ”Wakil presiden bukan ban serep presiden. Itu kesepakatan resmi Bapak Presiden dan saya. Saya menjalankan tugas-tugas membantu Presiden, antara lain melihat langsung apa yang dikatakan menteri dan mengambil keputusan di tempat. Saya melaporkan semuanya secara tertulis kepada Bapak Presiden.”

Stafnya menghitung, selama lima tahun itu JK melakukan audiensi 429 kali, menerima tamu sebanyak 567, kunjungan ke daerah 123 kali dan ke luar negeri 23 kali.

Masa transisi, menurut JK, berjalan cukup lama. ”Tak ada hilang, meski tentu ada yang berbeda. Inilah konsekuensi politik. Sejak bulan Juli saya sudah tahu arahnya.”

Dengan begitu, ia punya waktu untuk bersiap kembali menjadi ”warga biasa”, meski menurut undang-undang, sebagai mantan wakil presiden, seumur hidup ia tak bisa lepas dari pengawalan. ”Tetapi, jauh lebih sedikit,” ungkap dia.

Karena soal pengawalan pula, selama lima tahun terakhir, JK tak pernah bisa santai berlibur dengan keluarga. ”Mana bisa, kalau rombongannya besar sekali dan masih sering ditelepon.”

Melanjutkan pekerjaan

JK sudah punya segudang rencana. ”Sekarang kami mau berlibur dulu, tanpa telepon, tanpa beban. Saya mau ketemu teman-teman di sini maupun di luar negeri.”

Namun, gambaran pensiun sebagai masa istirahat tak berlaku bagi JK. Waktu istirahatnya, misalnya, pukul 23.00 sampai pukul 05.00, sudah menjadi ritme hidup.

Sebaliknya, masa pensiun JK adalah tahapan memulai. Ia mau terus berkarya melalui pendidikan, pelatihan, kegiatan sosial dan ekonomi. Ia akan mencari jalan ikut memajukan ekonomi bangsa ini. Ia merencanakan pergi ke daerah-daerah di Indonesia dan mengembangkan green energy dengan belajar dari negara-negara yang sudah melakukannya, seperti China, India, dan Selandia Baru.

Pengalamannya selama lebih dari 30 tahun sebagai pengusaha dan selama 8,5 tahun berada di lembaga eksekutif, membuat JK melihat jelas potensi besar negeri dan bangsa ini belum dikembangkan maksimal. Malah ada kecenderungan menyerahkan semuanya ke pihak asing. ”Saya membicarakan concern saya ini dengan Pak Boediono,” ujar dia.

Selama lima tahun itu ia menyimpan begitu banyak pengalaman yang bisa dijadikan bahan pelajaran. Ia sangat menghargai proses, karena hanya dari proses, seseorang bisa belajar.

Dari proses pula ia semakin yakin, dalam kehidupan seseorang harus sering-sering melihat ke bawah, tetapi untuk meraih prestasi harus mampu melihat ke atas.

JK mengatakan akan terus membantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Saya masih bisa telepon memberi masukan, mudah-mudahan diterima,” kata dia.

Puaskah dengan apa yang ia kerjakan lima tahun ini?

”Saya puas,” jawabnya, tegas.

”Bahwa hasilnya tidak memuaskan, itu soal lain,” lanjut JK, ”Lima tahun bagi saya adalah ukuran wajar. Saya mencurahkan seluruh hati dan pikiran saya untuk bangsa ini. Dengan mendamaikan negeri ini, membangun semangatnya, mengurangi bebannya, itu cukuplah. Saya ikhlas.”

JK menyelesaikan tugas formalnya dengan jiwa besar dan ketulusan seorang negarawan. (MH/AS/NMP)

Kamis, 15 Oktober 2009

Anies Baswedan Disebut Calon Menteri Pendikan

Anies Baswedan Disebut Calon Menteri Pendikan
By Arry Anggadha - Kamis, Oktober 15
VIVAnews - Nama Anies Baswedan PhD disebut-sebut menjadi salah satu calon yang akan duduk di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Rektor Universitas Paramadina itu disebut bakal menggantikan posisi Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.
Informasi yang diperoleh VIVAnews, posisi Menteri Pendidikan Nasional ini juga akan diperebutkan oleh Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Der Soz Gumilar Rusliwa Sumantri.
Melihat kiprahnya, karir pria kelahiran Kuningan, 7 Mei 1969 itu, cukup mumpuni. Sejumlah penghargaan di bidang pendidikan telah diraihnya.
Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Anies aktif di gerakan mahasiswa dan terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Saat kuliah, Anies juga sempat menerima beasiswa dari Japan Airlines Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia di Tokyo, Jepang.
Lulus dari Kampus UGM pada 1995, Anies diterima bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi di UGM. Kemudian sejumlah beasiswa pendidikan pernah didapatnya. Salah satunya adalah beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master Bidang International Security and Economic Policy di University of Maryland, College Park.
Saat kuliah di Amerika Serikat, Anies juga menggunakan waktunya untuk menulis dan menjadi pembicara di sejumlah seminar. Dia banyak menyoroti masalah desentralisasi, demokrasi, dan politik Islam di Indonesia.
Pada Mei 2008, Majalah Foreign Policy memasukkan nama Anies dalam daftar 100 intelektual publik dunia. Anies juga bahkan dipilih oleh World Economic Forum sebagai salah satu Young Global Leaders.
Raihan penghargaan itu mensejajarkan Anies dengan sejumlah tokoh dunia seperti Lee Kuan Yew, Al Gore, Francis Fukuyama, dan Muhammad Yuns.
Pada perhelatan Pilpres 2009, Anies juga terpilih menjadi moderator debat calon presiden. Dalam debat itu, Anies mengangkat isu mengenai Lumpur Sidoardjo, Alutsista, HAM, dan masalah TKI.
Saat ini Anies yang memperisteri Prof DR Aliyah Rasyid, M.Pd. (Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta) telah dikaruniai tiga putera, yakni Mutiara Annisa, Mikail Azizi, dan Kaisar Hakam.

Rabu, 14 Oktober 2009

Miyabi? Nggak Penting Kali

Rabu, 14 Oktober 2009 - 09:36 wib
Rencana produksi film nasional berjudul Menculik Miyabi mengusik perhatian. Sebagaimana selama ini bila bersinggungan dengan soal aurat atau syahwat, ada suasana gawat, darurat, perlu tindakan cepat.Miyabi sendiri, rasa-rasanya, "nggak penting-penting amat" sehingga harus diangkat ke dunia film atau juga diributkan. Namun membicarakan dan mendudukkan persoalan mungkin berguna. Karena gesekan seperti ini masih akan ada, sebagai dinamika kita bersama ketika berada dalam situasi yang lebih terbuka.1.000 Miyabi
Miyabi adalah gadis blasteran, keturunan campuran yang selalu dimanjakan oleh dunia hiburan. Dia punya beberapa nama alias-- tak ada hubungannya dengan nama alias beberapa teroris--dengan ratusan judul film/DVD yang memang supersaru, porno total, dalam berbagai pengadegan yang hanya ada dalam khayal.

Dalam teknologi komunikasi sekarang ini, internet adalah media yang tepat, cepat, dan kuat memosisikan dia sebagai bintang porno. Termasuk muncul banyak blog atau fans club yang menamakan diri sebagai Miyabi Fanclub Indonesia dengan berbagai komentar yang melibatkan emosi secara emosional. Misalnya mereka prihatin-- dan mengumpulkan suara protes-- pada judul tertentu di mana Miyabi diperkosa. Menggelikan, tapi dalam dunia maya segala sesuatu bisa terjadi.

Dalam situs seperti itu, Miyabi bukan satu-satunya yang hot, yang semlohe, yang panas. Ada nama Jade Hsu--yang juga punya banyak nama lain, juga blasteran, juga punya fans club di sini. Ada juga bintang lokal yang bernama Chicka. Untuk yang terakhir ini, nama Chicka pernah juga menjadi judul film-- walau tak ada hubungan langsung dengan si cantik imut yang masih belasan tahun. Artinya ada 1.000 Miyabi lain yang kurang lebih sama. Mereka menjadi populer karena teknologi komunikasi memungkinkan itu.

Mereka dalam arus "industri lendir" yang mempunyai penggemar tersendiri. Popularitas ini yang menempatkan mereka sebagai selebritas, celebrity. Artinya mereka yang menjadi populer dan makin populer karena populer atau dipopulerkan. Bukan karena prestasi dalam disiplin kerja profesi mereka. Aktingnya-- siapa yang mau nonton Miyabi dari segi akting--mendesah dan mengaduh tak beda dengan yang lain.

Bahwa rada-rada mulus dan kelihatan imut, maklum saja pengarah kameranya memang jempolan dan produksi sekarang memang benarbenar nyaman dilihat. Itu bila dibandingkan 10 tahun lalu di mana jenis begini dibuat dengan asalasalan, dengan bujet seadanya, dan belum dipasarkan secara massal.
1.000 Alasan
Kehadiran para selebritas inilah yang menarik perhatian, menjadikan salah satu dari "1.000 alasan" untuk dijadikan modal sebagai artis dalam sebuah produksi film dan atau sinetron. Masih hangat dalam ingatan bagaimana seorang Manohara tiba-tiba menjadi bintang utama dan sinetron yang dijuduli dengan namanya-tapi bukan Menculik Manohara meskipun kisah sebenarnya ada unsur culik menculik.
Ini adalah gejala yang terjadi dalam dunia komunikasi massa sekarang ini. Hanya ketika "artis" itu menyangkut nama Miyabi, jadilah masalah. Maxima, perusahaan yang akan memproduksi film ini, melihat modal selebritas, popularitas sebagai adonan yang bisa mendatangkan pembeli karcis. Maxima selama ini mempunyai tempat yang pantas dalam jajaran produser film. Produknya cukup punya kelas, beberapa judul bahkan berani melawan arus. Pastilah bukan ingin membuat film porno karena tema yang diusung berjenis komedi.
Masalahnya memang pada nama Miyabi itu sendiri, dengan segala gambaran yang sudah ada. Inilah yang berubah menjadi ketegangan, dengan protes dalam bentuk demonstrasi--yang kali ini cukup santun. Ketegangan yang mengganggu dan akan berada dalam jalan buntu kalau kedua pihak tak mencapai titik temu permasalahannya. Pihak pertama antipati, pihak kedua meminta menunggu, bagaimana hasil akhir nanti? Apakah perlu diributkan atau tidak?
Menurut saya--berulang kali saya katakan menurut saya yang berarti tak usah diturut juga tak apa--, cara mempersoalkan seperti itu tak memberi jalan keluar. Kemungkinan dialog tetap menjadi monolog dan kepentingan lain yang menguat.
1.000 Pilihan
Bentrokan kepentingan dengan mengatasnamakan moralitas dan seksualitas sebenarnya tak ada hubungannya, mana yang harus dijadikan skala prioritas? Apalagi, film nasional yang mampu bangkit dan melejit walau kondisi industrinya masih terjepit tak butuh seorang Miyabi. Untuk berjaya kembali ternyata bisa dengan Laskar Pelangi atau Arisan atau Ketika Cinta Bertasbih.
Dengan kata lain, banyak pilihan lain yang non-Miyabi. Dari sisi yang lain, biarkan saja Miyabi-- atau Jade Hsu atau nama lain itu-- berada dalam dunianya-- yang barangkali juga pilihan sesat atau nikmat. Tak banyak makna memindahkan posisi selebritas ke posisi yang lain. Biarlah citra itu menjadi bagian dari pilihan hidupnya dengan konsekuensi tersendiri. Kecuali kalau--hanya kalau-- misalnya memang Miyabi sekarang sadar dan berniat main film secara bersungguh-sungguh.
Akan lain permasalahannya, lain akar dan persoalan yang menjadi bingkai sehingga gagasan kreatif yang mendasarinya berbeda. Barangkali juga, hal semacam ini lebih perlu diwaspadai. Sebab, memusuhi Miyabi--yang tak penting itu--atau alergi pada yang dianggap tidak layak kadang bisa membutakan. Karena sebenarnya kisah atau tema atau bahkan judul lain kalau dicermati lebih perlu diprotes.
Misalnya saja, judul seperti Namaku Dick, ML, Basahhh, Masukin Aja atau variasi dari kata-kata itu dari segi kepantasan pun perlu dipertanyakan. Sesungguhnya inilah masalah utama dan terutama dalam industri perfilman ketika nilai-nilai moralitas dan amoralitas dipertanyakan untuk menemukan jawaban.
1.000 Judul
Akan lebih dewasa dan menguntungkan jika persoalan perfilman kita bertumpu pada bagaimana dunia hiburan ini bisa menjadi industri besar--dengan segala kreativitas dan secara ekonomi berarti bagi masyarakat perfilman umumnya.
Bagaimana sebuah produksi film bisa seutuhnya dan sepenuhnya diproduksi dalam negeri oleh anak-anak negeri ini? Kenyataannya untuk menggrade warna, untuk ilustrasi suara jangkrik atau ayam pun perlu ke luar negeri. Bagaimana tata krama berproduksi, tata krama berdistribusi, bagaimana industri lain-- perbankan misalnya--menopang dan memberi kemudahan. Bagaimana menciptakan suasana sehingga bisa mencapai angka 1.000 judul per tahun, bagaimana bisa mengekspor dan atau berjaya dalam berbagai festival--yang juga ratusan jumlahnya--, bagaimana menjaga kelangsungannya sebagai industri?
Bukannya kasus Miyabi tidak penting. Kasus ini menjadi penting karena ternyata masih ada dan dipersoalkan. Kasus ini ada untuk menjadikan kita lebih dewasa dan mempunyai alasan pas ketika mengatakan: gak penting amat.(*)Arswendo AtmowilotoBudayawan