Jumat, 21 Agustus 2009

Pembunuh Bukan Mujahid

Jum'at, 21 Agustus 2009 - 09:42 wib
Ketika melayat jenazah dua pelaku teror, Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (Rabu, 12/8/2009), Abu Bakar Baasyir menyebut keduanya sebagai mujahid dan bukan teroris.
Sungguh, sebuah pernyataan yang mengganggu kemanusiaan kita. Baasyir memang dikenal sebagai pejuang formalisasi syariat Islam. Menurutnya, bentuk negara yang dikehendaki (dan diridai) Tuhan adalah negara yang sepenuhnya menegakkan syariat Islam secara formal konstitusional dan bukan (ideologi) ciptaan manusia. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Baasyir menyebut pemerintahan Indonesia, termasuk SBY, adalah pemerintahan yang thagut (tiran; model yang dianut Fir'aun), yang zalim, kafir, dan munafik (seperti disebut oleh Surat Al-Baqarah).
Dalam konteks inilah seseorang mesti berjihad; memperjuangkan bentuk negara dengan model konstitusi Islam dan berperang melawan musuh-musuhnya. Semua pelaku teror yang siap meledakkan bom pasti atas nama jihad. Ideologi ini sudah sedemikian mantap menancap dalam pikiran dan keyakinan mereka, karena dalam Islam tak ada pahala yang lebih tinggi dan agung selain berjihad. Seorang mujahid akan menjadi "pengantin" surga, dan surganya pun tidak tanggung-tanggung- surga yang paling tinggi bersama para nabi dan kekasih (awliya) Tuhan.
Benarkah kaum teroris adalah mereka yang berjihad dengan kompensasi pahala tersebut? Kita perlu melihat konsep jihad itu secara utuh. Jika merujuk pada Alquran, kitab suci itu menggunakan dua istilah yang berbeda, tetapi maknanya sering disamakan: jihad dan qital. Jihad berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qital berarti peperangan. Karena itu harus dipahami jika Alquran menggunakan ayat jihad artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum; sementara bila menggunakan ayat qital, artinya sudah khusus peperangan.
Perbedaan dua istilah Alquran itu berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat jihad telah turun sejak periode Islam Mekkah, ketika tidak pernah terjadi satu pun peperangan, jihad dalam periode Islam Mekkah adalah jihad nonperang. Sangat mustahil bila jihad pada periode ini dimaknai sebagai peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan dalam Surat Al-Furqan ayat 52, An-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan Al- Ankabut ayat 69. Adapun ayat-ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.
Kedua, aktivitas perang dalam Alquran memang menggunakan ayat-ayat qital secara jelas, bukan dengan ayat jihad. Surat Al-Hajj ayat 39 menyebutkan telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi. Demikian juga surat Al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi dan perangilah (qatiluu) orang-orang yang memerangimu. Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual waktu sebagai "perang".
Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital. Kaum teroris atau mereka yang seideologi selalu mengunci kata jihad dalam konteks peperangan saja. Padahal, menurut Gamal al-Banna-adik bungsu pendiri Ikhwan al-Muslimin: Hasan al-Banna-dalam Al-Jihad, jihad dan qital harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qital pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad.
Baginya jihad adalah mabda' (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah medium (washilah), yang tidak prinsipal dan sangat situasional. (Mohamad Guntur Romli, Memaknai Kembali Jihad, 2006).
***
Harus diakui, Alquran memang kitab suci yang terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, kecenderungan dan selera sang penafsir. Namun, harus diyakini pula bahwa kebenaran mutlak/pasti makna ayat-ayat Alquran hanya Tuhan saja yang mengetahui.
Manusia tahu, tapi pengetahuan atau kebenaran pengetahuannya bersifat relatif: bisa salah bisa pula mendekati kebenaran. Kebenaran mutlak milik Tuhan belaka. Karena itu, ulama-ulama tafsir, terutama yang klasik, dengan rendah hati selalu mengakhiri uraian tafsirnya dengan mengatakan wallahu a'lam bish-shawab (Allah yang lebih tahu kebenarannya) atau Allahu a'lam bimuradihi (Allah yang lebih mengetahui maksudnya). Dengan demikian, kita tidak dapat menafsir firman-firman Tuhan dengan natur ketuhanan.
Yang dapat kita lakukan adalah menafsir Tuhan (agama) dengan natur kemanusiaan kita. Fitrah kemanusiaan kita cenderung mendorong kita untuk hidup: untuk membangun, bukan untuk mati; bukan untuk merusak, apalagi membunuh. Ada adagium yang berbunyi, "Senjata tidak membunuh orang, oranglah yang membunuh sesamanya." Pepatah ini mengandung arti, agama bukanlah masalah, tetapi oranglah yang menjadi masalah.
Sama dengan perkataan Ali bin Abi Thalib, "Alquran itu adalah teks yang diam, manusialah yang membunyikannya (dan memberi makna)." Atau pendapat seorang pakar komunikasi modern, "The words can not means but the people mean," kata-kata tidak bisa memberi makna, manusialah yang memberi makna atau menafsirkannya. Karena Tuhan tidak bisa ditanya maksud dari setiap kata-kata sabda-Nya, maka manusialah yang menafsir dan memberi makna.
Karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, agung dan bermartabat, maka interpretasi dan artikulasi atas setiap teks-teks Tuhan dalam kitab suci-Nya mesti dalam konteks menyelamatkan, menghargai dan mencintai manusia, bukan malah menyakiti atau membunuhnya. Mayoritas ulama Islam yang waras dan sehat tetap sepakat bahwa kita tidak sedang dalam keadaan perang fisik atau diperangi secara fisik oleh "orang-orang kafir".
Negeri kita adalah "negeri yang damai" (dar al-salam), bukan negeri Islam (dar al-Islam), tetapi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan hukum positif kita telah sesuai dengan "ruh" atau "substansi" syariat Islam. Karena itu tidak alasan syar'i untuk melakukan qital. Boleh saja kaum teroris mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah perintah dan atas nama Tuhan, tetapi natur keberagamaan kita yang humanis tidak dapat menerima hal itu.
Orang yang melakukan bunuh diri dan membunuh orang adalah pembunuh, bukan mujahid. MUI telah berfatwa bahwa perbuatan mereka terkutuk dan bukan jihad, kematian mereka pun bukan mati syahid. Dalam perspektif makna jihad yang humanis, Quraish Shihab menegaskan bahwa memberantas kebodohan, kemiskinan, korupsi, dan penyakit adalah jihad yang tak kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Dulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya jiwa, hilangnya harta benda, dan terurainya kesedihan dan air mata.
Kini, jihad harus membuahkan terpeliharanya jiwa, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, melebarnya senyum dan terhapusnya air mata, serta berkembangnya harta benda (Shihab, Wawasan Alquran, 1996). Singkat kata, untuk dunia kita saat ini jihad berarti menghidupi dan membangun, bukan membunuh atau merusak.
Hal yang tak kalah penting, jihad juga berarti mengekang hawa nafsu, yang dalam pengertian spesifiknya adalah melakukan ibadah puasa seperti yang akan kita jalani sebentar lagi. Waallahu a'lam bishshawab.(*) Media Zainul BahriDosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dikubur 26 Tahun Jasad Masih Utuh Secara Teori Tidak Masuk Akal

Jumat, 21/08/2009 17:34 WIB
Dikubur 26 Tahun Jasad Masih Utuh
Secara Teori Tidak Masuk Akal
Deden Gunawan - detikNews

KH.Abdullah (paling kiri) saat menuntut ilmu di Mekkah
Jakarta - Lahan seluas lapangan bulutangkis itu kini hanya tinggal puing-puing. Dulu di lahan tersebut berdiri sebuah musala yang diberi nama An-Najat. Di musala itu KH. Abdullah
memberikan pengajian kepada murid-muridnya, sejak tahun 1950-an.

Nama Kiai Abdullah kini ramai menjadi perbincangan di Tangerang karena jasadnya yang sudah dikubur selama 26 tahun ternyata masih utuh bahkan bau wangi. Kondisi jenazah persis sama seperti saat dikubur dulu. Hanya tubuhnya agak menyusut saja, dan rambutnya memutih.

Sepanjang hidupnya, Kiai Abdullah banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajar agama. Menurut Achmad Fathi, putra Kiai Abdullah, sewaktu muda Kiai Abdullah sempat dibimbing Kiai Mursan, seorang ulama yang tinggal di kampung Blenduk, Batu Ceper, Tangerang, yang letaknya sekitar 2 kilometer dari kediamannya.

Setelah 5 tahun menuntut ilmu di Kiai Mursan, pria kelahiran 16 Desember 1919 itu kemudian diperintah KH Marsan untuk menambah ilmu di Darul Ulum, Mekkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar selama kurang lebih 7 tahun.

Kiai Abdullah akhirnya pulang ke tanah air setelah gurunya, Syekh Yasin, asal Padang, Sumatera Barat, memintanya pulang ke Indonesia, untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat, khususnya di wilayah Batu Ceper, Tangerang.

"Ayah saya diperintahkan pulang untuk mengajar oleh Syekh Yasin, saat perang dunia ke II (1939-1945)," jelas Achmad Fathi saat ditemui detikcom.

Sesuai perintah gurunya, Kiai Abdullah kemudian mulai memberikan pengajian di sekitar rumahnya. Sistem pengajaran yang dilakukan Kiai Abdullah bukan model pesantren melainkan berbentuk majelis.

Lokasi pengajian dilakukan di Musala An-Najat sejak beduk Magrib hingga jam sembilan
malam. Usai pengajian, biasanya murid-murid bermalam di musala dan pulang selepas
salat Subuh berjamaah.

Materi pengajian yang diajarkan Kiai Abdullah berupa ilmu Fiqih (hukum) maupun tafsir Al Quran. Adapun kitab-kitab yang diajarjakan, antara lain, Jurmiyah, Nahwu, Shorof, Fathul Qorib, Fathul Muin, maupun tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-Suyiti.

Saat mengajar, sang kiai dikenal sangat tegas. Namun meski dikenal galak dalam mengajar, murid-muridnya justru semakin hari semakin bertambah. Mereka umumnya datang dari daerah Batu Ceper dan wilayah Tanggerang.

Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Abdullah juga mengajarkan murid-muridnya cara
bercocok tanam. Saat siang hari biasanya murid-muridnya bekerja di sawah maupun kebun pepaya milik Abdullah. "Murid-murid kalau siang hari ditugasi mengelola sawah dan kebun milik keluarga kami," jelas Achmad Fathi.

Kesolehan dan ilmu yang mumpuni yang dimiliki Kiai Abdullah lama-lama tersiar ke seantero Tangerang. Itu sebabnya, Pemda Tangerang pada tahun 1973 memintanya untuk menjadi Wakil Ketua Pengadilan Agama Tengerang.

Namun sekalipun telah bekerja di pemerintahan, sikap sederhana dan rendah hati tetap melekat dalam diri Kiai Abdullah. Setiap bekerja ia hanya menggunakan sepeda ontel.
Jarak antara rumahnya ke Pengadilan Agama Tangerang berjarak sekitar 10 kilometer.

"Kata bapak hidup sederhana dan apa adanya merupakan perintah Nabi Muhammad SAW. Karena itu selama hidup bapak tidak mau hidup secara berlebih-lebihan," jelas Abdul Zibaki, anak Kiai Abdullah Lainnya.

Selama hidup Kiai Abdullah memiliki tiga orang istri, yakni Rohani, Maswani, dan Romlah. Ia pertama menikah dengan Rohani, yang merupakan putri gurunya, KH Mursan, sekitar tahun 1945. Dari pernikahannya dengan Rohani, dikarunia dua orang anak. Namun tidak lama setelah melahirkan anak kedua, Rohani meninggal dunia.

Selang dua tahun kemudian Kiai Abdullah menikah lagi dengan Maswani, yang merupakan tetangga rumahnya. Dari Maswani, Kiai Abdullah dikaruniai 5 orang anak. Dan lagi-lagi istri keduanya ternyata pergi menghadap Sang Pencipta lebih dulu darinya. Maswani wafat tahun 1980.

Setelah kematian istri keduanya Kiai Abdullah sebenarnya tidak mau menikah lagi. Namun karena desakan anak-anaknya, ia akhirnya menikah dengan Romlah, warga tetangga Desa Juru Mudi. "Kami merasa kasian sama bapak karena tidak ada yang mengurusinya. Makanya kami mendesaknya untuk menikah lagi," tutur Mukhtar Ali, anak sulung Kiai Abdullah.

Namun dari pernikahannya dengan Romlah, Kiai Abdullah tidak dikaruniai anak hingga ia wafat pada 22 Oktober 1983. Kiai Abdullah meninggal dunia lantaran penyakit ginjal yang dideritanya. Sebelum meninggal ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

Kiai Abdullah dimakamkan di belakang musala An-Najat berdasarkan wasiat yang disampaikannya kepada anaknya, Mukhtar sebelum meninggal. Sang kiai beralasan ingin dikubur di sana mengingat musala itu merupakan tempat perjuangannya pertama kali di dunia dakwah.

Musala tempatnya pertama kali mengajar seakan menjadi kenangan sendiri bagi Abdullah. Meskipun ia sebenarnya juga telah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang diberi nama Islahuddiniyah, sejak tahun 1970-an. Lokasi madrasah itu persis berada di depan rumah Kiai Abdullah.

Soal utuhnya jasad Kiai Abdulah setelah dikubur selama 26 tahun dikatakan salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Said Budairy sebagai karunia Allah. Menurutnya, jenazah itu dilindungi oleh Allah.

"Kejadian seperti itu sudah sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Dan biasanya yang jasadnya seperti itu adalah orang-orang yang hafidz Alquran dan alim," jelasnya.

Ditambahkannya, untuk melihat kealiman si jenazah bisa dilihat dari perjalanan hidup
almarhum. "Dan kalau seperti yang saya dengar kiai itu sebagai orang yang ahli ilmu,
itu sudah tidak salah lagi. Berarti kiai itu dilindungi Allah di dalam kuburnya,"
imbuhnya.

Sementara Agus Hendratno, anggota Ikatan Ahli Geologi Yogyakarta mengatakan, dari
teori geologi, memang bisa saja jasad manusia yang dikubur akan tetap utuh.
Penyebabnya mungkin saja di dalam tanah itu tidak terdapat hewan organik yang bisa
mengubah jasad manusia, seperti kulit dan daging menjadi tanah.

Menurut Agus, dalam peristiwa utuhnya jenazah Kiai Abdullah mungkin saja bisa disebabkan di liang lahat tidak terdapat hewan organik.

"Sebenarnya peristiwa utuhnya jenazah masuk lebih kepada urusan spiritual. Tapi
kalau mau dikait-kaitkan ke dalam teori geologi, bisa saja di liang lahat itu tidak
terdapat hewan organik," urainya

Tapi, kata Agus, bila lokasi tanah yang berair dan lembab seperti di wilayah Batu Ceper, yang dikenal dahulunya merupakan daerah rawa-rawa, teori itu terbantahkan. Dengan kata lain Agus berpendapat jika peristiwa utuhnya jenazah Kiai Abdullah sangat unik dan di luar kebiasaan.

(ddg/iy)

Dikubur 26 Tahun Jasad Masih Utuh Kain Kafan Sang Kiai Utuh & Harum Baunya

Jumat, 21/08/2009 15:36 WIB
Dikubur 26 Tahun Jasad Masih Utuh
Kain Kafan Sang Kiai Utuh & Harum Baunya
Deden Gunawan - detikNews

Jakarta - Tiga bak berisi air dan potongan kayu ukuran 70 cm x 30 cm telah disiapkan anak-anak almarhum KH. Abdullah. Saat itu, Minggu 2 Agustus 2009, makam Kiai Abdullah akandipindahkan lantaran di lokasi itu terkena proyek pelebaran Jalan Benda, Batu Ceper, Tangerang, yang mengarah ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Air yang ada di dalam bak itu rencananya akan digunakan untuk mencuci tulang belulang sebelum dipindahkan ke lokasi pemakaman yang baru. Sementara potongan kayu sengon sebanyak 9 potong diperuntukkan sebagai dinding pembatas jenazah di dalam liang lahat.
"Saya sudah beberapa kali melihat proses pemindahan kuburan di Karet Bivak, Jakarta Pusat. Persiapannya memang seperti itu," kata Achmad Fathi, anak ketiga Kiai Abdullah.
Namun semua perlengkapan itu akhirnya tidak terpakai. Soalnya, ketika makam yang berusia 26 tahun digali, pemandangan aneh terjadi. Jasad Kiai Abdullah ternyata masih utuh. Begitu juga dengan kain kafan dan kayu penutup jenazah. Tidak ada tanda-tanda bekas gigitan rayap atau binatang tanah di kafan maupun di kayu kamper tersebut.
Sementara Mukhtar Ali, anak sulung Kiai Abdullah, yang mengangkat jenazah ayahnya dari liang lahat mengaku sempat kaget. Soalnya kondisi jenazah hampir sama seperti saat dikuburkan, 22 Oktober 1983 silam. "Kondisi jenazah persis sama seperti saat dikubur dulu. Hanya tubuhnya agak menyusut saja, dan rambutnya memutih" jelas Mukhtar.
Mukhtar dan keluarganya semakin kaget, jenazah juga beraroma harum yang menyerbak. Wanginya, kata Mukhtar, tidak seperti parfum-parfum yang ada di toko-toko minyak wangi. Teriakan takbir pun langsung terdengar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut.
Yang juga dirasa aneh oleh keluarga, ribuan warga tiba-tiba berdatangan mengikuti prosesi pemindahan jenazah. Padahal keluarga tidak memberi pemberitahuan kepada warga maupun murid-murid Kiai Abdullah. Mereka tiba-tiba saja datang. "Awalnya pemindahan jenazah itu hanya dilakukan keluarga. Paling hanya 20 orang. Tapi nggak tahu kenapa tiba-tiba saat jenazah digali orang-orang sudah banyak berkumpul," ujar Mukhtar. Saking banyaknya orang yang datang, imbuh Mukhtar, mobil dan motor pelayat yang terparkir di sisi jalan Benda, panjangnya mencapai 5 kilometer sehingga membuat kemacetan yang luar biasa di jalan tersebut. Beberapa warga yang ditemui detikcom menuturkan, sebelum proses pemindahan jenazah, sebenarnya tanda-tanda keanehan sudah muncul terkait rencana pemindahan makam tersebut. Sebab saat alat berat ingin menghancurkan musala dan bangunan makam, tidak bisa berfungsi. Beberapa kali alat pengeruk dari mobil beko patah ujung kukunya.
Karena kejadian itu, pihak kontraktor pelebaran jalan menunda pembongkaran yang rencananya akan dilakukan pada Januari 2009 itu. Pembongkaran baru bisa dilanjutkan awal Agustus setelah ada kesepakatan dengan keluarga. Salah satunya soal cara pembongkaran musala dan makam itu, yakni dengan hanya menggunakan palu dan linggis. Bukan pakai alat berat. Keluarga Kiai Abdullah sebenarnya menyayangkan kalau musala itu dibongkar. Sebab musala yang telah ada sejak puluhan tahun lalu itu sangat dibutuhkan warga setempat untuk beribadah. Musala yang berdiri di atas tanah wakaf itu sejak dibangun Kiai Abdullah tahun 1950-an sudah mengalami beberapa pemugaran dan pelebaran. Hingga menjadi semakin luas dan bangunannya menjadi permanen.Namun pada 2007, Pemkot Tangerang ternyata punya rencana melakukan pelebaran jalan Benda, Juru Mudi, Batu Ceper, yang berada di sepanjang Sungai Cianjane. Musala dan makam itu kebetulan berada di lokasi yang akan dijadikan akses jalan sehingga terpaksa harus digusur.
Tanah yang akan digusur dihargai Rp 500 ribu per meter. Harga itu belum termasuk bangunan yang akan dibongkar. Tapi keluarga Kiai Abdullah menolak pemberian uang pengganti. Pasalnya , tanah tempat musala dan makam itu merupakan tanah wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan.
Pihak keluarga hanya meminta Pemkot membangun kembali musala di sekitar wilayah Juru Mudi, supaya warga setempat mudah kalau ingin beribadah. "Sepeser pun kami tidak menerima uang penggantian. Biaya pemindahan jenazah saja kami tanggung sendiri, sekalipun Pemkot sudah menawarkan" jelas Mukhtar, anak sulung Kiai Abdullah. Kini jenazah Kiai Abdullah dimakamkan di depan pekarangan rumah Achmad Fathi, yang berjarak hanya 15 meter dari lokasi pemakaman sebelumnya. Di areal pemakaman baru itu terdapat tiga makam, yakni makam KH Abudullah bin Mukmin, makam istri keduanya Maswani, serta makam putra keduanya yang bernama M Syurur.
Rencananya, areal makam itu akan diperluas lantaran setiap hari banyak orang yang datang untuk berziarah, terutama setelah tersiar kabar jasad Kiai Abdullah masih utuh meski dikubur selama 26 tahun. Bahkan untuk memudahkan para peziarah, keluarga bermaksud membangun musala di samping areal makam. (ddg/iy)

Rabu, 19 Agustus 2009



Pesan Terakhir Burung Merak
Minggu, 9 Agustus 2009 | 03:25 WIB
Putu Fajar Arcana & Ninuk M Pambudy
WS Rendra sesungguhnya sudah meninggal di rumah anak bungsunya dari Sunarti, Clara Sinta, di Perumahan Pesona Khayangan, Depok, Kamis (6/8), pukul 22.10. Setelah mengembuskan napas terakhir barulah dibawa ke RS Mitra Keluarga, Depok, untuk memastikan kepergiannya.
Pesan terakhir ayahandanya, menurut Clara, hanya ingin tanah di Citayam seluas 6 hektar, di mana Bengkel Teater Rendra beralamat, dihutankan. Rendra sudah menanam ratusan pohon ulin dan eboni, yang tidak boleh ditebang sampai berusia 20 tahun. Dan tidak ada pesan apa pun dari Rendra menyangkut kelanjutan Bengkel Teater Rendra.
Clara termasuk anggota keluarga besar Rendra yang paling dekat dengan ayahnya. Kepada Rachel Saraswati (31), anak Rendra dari Sitoresmi Prabuningrat (59), ”Si Burung Merak” pernah berkata, ”Kalau penyakit tak bisa diatasi, aku mau dipeluk Clara,” tutur Rachel.
Kedekatan itulah yang membuat Rendra meminta secara khusus pada hari-hari terakhirnya berbaring di rumah Clara Sinta. Meskipun selama dua hari di situ, Rendra juga ditemani istrinya, Ken Zuraida, serta anak bungsu mereka, Meriam Supraba.
”Papa itu sebagai ayah sangat unik. Dia mengekspresikan perhatiannya dengan cara unik, jujur menghadapi situasi kehidupannya. Papa selalu ke saya, bahkan untuk hal yang sangat pribadi,” tutur Clara. Dia mengenang, bagaimana ayahnya baru bisa menggunakan layanan pesan singkat SMS tiga bulan terakhir dan sejak itu seperti tak bisa dipisahkan dari telepon selulernya, bahkan ketika terbaring di rumah sakit.
Rachel sendiri melihat Rendra sebagai a complete man. ”Dia itu orang lengkap, figur ayah, teman, dan guru. Saya anak beruntung karena tidak semua anak mempunyai pergaulan kreatif dengan ayahnya,” kata Rachel.
Pergaulan kreatif itu, tambah Rachel, anak-anaknya bisa eyel-eyelan atau gojekan (bercanda) dengan Rendra. ”Saya anak yang paling cerewet, dia bisa menyikapi kecerewetan saya. Misalnya, papa bilang, jangan cerewet dong sama bapaknya yang sudah tua. Caranya mengatakan sangat lucu,” ujar Rachel.
Minta lagu
Saat-saat dirawat di rumah sakit, kata Rachel, ia selalu diminta ayahnya menyanyikan lagu Don’t Cry for Me Argentina yang dipopulerkan Madonna lewat film Evita Peron. Lagu itu, kata Rachel, mewakili perasaan ayahnya dalam menjalani hari-harinya di rumah sakit. ”Rendra menyadari sakitnya mungkin tak bisa disembuhkan, tetapi semangatnya tetap kuat,” tutur Rachel, yang menetap di Yogyakarta.
Sebelum pergi untuk selama-lamanya, ujar Ken Zuraida sembari menahan tangis, seusai pemakaman Rendra, Jumat (7/8), suaminya seperti berkhotbah panjang. ”Ia me-review saya selama sejam lebih. Saya ini memang masih harus banyak belajar, belum juga bisa apa-apa, tetap bodo...,” tutur Idha, panggilan Ken Zuraida. Mas Willy, menurut Idha, sempat mengatakan, dia sangat berbahagia. ”Saat itu ada juga Clara,” kata dia.
Bagi Sitoresmi Prabuningrat yang pernah menjadi istri Rendra, meski telah berpisah, hubungannya dengan Rendra dan Bengkel Teater tetap baik. Sampai sekarang jika diminta membaca puisi, Sito tetap merasa paling sreg ketika membacakan puisi karya Rendra. Kekaguman Sito pada Rendra dalam keberhasilannya melahirkan sosok-sosok seniman yang mandiri, seperti Putu Wijaya, Chaerul Umam, Sitok Srengenge, Sawung Jabo, serta banyak lainnya.
”Saya mendapat manfaat dari gemblengan di Bengkel Teater, mungkin tanpa gemblengan itu saya tidak akan sekuat sekarang,” tutur Sito. Gemblengan di Bengkel adalah gemblengan hidup, belajar dari kekurangan materi. ”Sekarang kalau melihat ada masalah, saya mengatakan dalam hati, saya pernah melalui yang lebih berat,” kata Sito. Sitoresmi terlibat dalam kehidupan Bengkel pada periode 1970-1979 ketika masih bermarkas di Yogyakarta.
Menurut Rachel, ketika Rendra dan Bengkel pindah ke Jakarta pada awal tahun 1980-an, ia masih balita. ”Setahu saya, Papa inginnya Bengkel harus berusaha agar semua anggota bisa dapat uang tidak hanya menunggu mendapat tawaran pentas, harus jemput bola,” kata dia.
Tentang masa-masa sulit yang dialami Bengkel ketika di Yogya, Clara mengatakan, ayah dan juga ibunya, Sunarti, mengajarkan, ”Anak-anak kandung Papa adalah rahim bagi cita-cita Papa.” Anak-anak Bengkel kerap didahulukan kepentingannya daripada anak-anak kandungnya.
Bengkel Teater Rendra memang satu cita-cita yang diwujudkan. Komunitas ini dibangun Rendra sebagaimana ia juga menyuarakan soal-soal kehidupan dalam komunitas manusia. Sitok bahkan menggambarkan Rendra adalah guru yang mengajarkan tentang keberanian hidup.
Keberanian itulah, yang menurut sahabat terdekat Rendra, budayawan Emha Ainun Nadjib, dihancurkan ketika ia sedang berbaring di rumah sakit. Rendra secara fisik memang sudah berumur, tetapi dia terlahir dengan semangat hidup menyala. ”Nah, jika semangat hidupnya yang dihancurkan, tahulah apa jadinya...,” tutur Emha.
Kini penyair yang selalu seperti mengepakkan sayapnya saat-saat membacakan puisi itu telah pergi. Mungkin keadaannya sebagaimana yang ia gambarkan dalam puisinya Kenangan dan Kesepian. //Rumah tua/dan pagar batu/Langit desa/sawah dan bambu//Berkenalan dengan sepi/pada kejemuan disandarkan dirinya/Jalanan berdebu tak berhati/lewat nasib menatapnya//Cinta yang datang/burung tak tergenggam/Batang baja waktu lengang/dari belakang menikam//Rumah tua/dan pagar batu/Kenangan lama/dan sepi yang syahdu//. (XAR/IAM)
INSPIRASI DARI SI BURUNG MERAK
Minggu, 9 Agustus 2009 03:27 WIB
Di balik pesona sebagai ”Burung Merak”, almarhum WS Rendra adalah pekerja seni budaya yang teguh memperjuangkan cita-cita. Melintasi berbagai tekanan ekonomi dan politik, Bengkel Teater-nya menancapkan tonggak penting teater modern serta melahirkan sejumlah seniman kuat di Tanah Air.
”Bersumpahlah.... Jangan bikin grup teater.... Hasilnya apa? Jangan nulis sastra.... Gajinya tak seberapa. Tidak ada kesempatan beridealisme di Indonesia,” kata Narti. Demikian catatan Rendra mengutip ancaman istri pertamanya, Sunarti, dalam buku Rendra dan Teater Modern Indonesia (editor Edi Haryono, tahun 2000).
Ancaman itu dilontarkan Narti ketika Rendra baru pulang studi dari American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat, tahun 1967. Namun, ternyata larangan itu didobrak, bahkan kemudian Narti ikut hanyut dalam idealisme jalan kesenian.
Rendra mendirikan kelompok teater tahun 1967—yang kemudian dikenal sebagai Bengkel Teater Rendra. Kelompok ini berlatih di depan rumahnya di Ketanggungan Wetan, Yogyakarta. Dia sendiri juga berkembang sebagai penyair besar.
Meski begitu, peringatan Narti tentang sulitnya beridealisme di negeri ini juga menjadi kenyataan. Dari kenyataan inilah, Bengkel Teater itu tumbuh. Begitu pula lika-liku hidupnya sebagai penyair.
Pada masa awal, Bengkel Teater menghadapi kesulitan ekonomi. Untuk mementaskan lakon Bip-Bop di Balai Budaya Jakarta tahun 1968, misalnya, mereka merogoh kocek sendiri. Sebagaimana diceritakan Rendra dalam catatan tadi, pertunjukan itu didanai dari uangnya sendiri, uang Chaerul Umam (katanya, dengan menggadaikan sepeda), serta sumbangan uang tiket dari Trisno Soemardjo.
Bengkel kemudian berlatih menghidupi diri sendiri dengan menjual tiket pentas, terutama sejak pentas Oedipus Sang Raja (tahun 1969). Setiap pemain dapat honorarium yang cukup untuk hidup.
Sitoresmi Prabuningrat (59), istri kedua Rendra, yang aktif di Bengkel tahun 1970-1979, menceritakan seusai pemakaman Rendra di padepokan Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8), produksi teater mengandalkan penghasilan satu pentas untuk membiayai pentas berikutnya. ”Saat uang habis, kami, anak- anak teater, utang pada warung yang menjadi tetangga teater dengan janji akan dibayar kalau dapat persekot pentas berikut. Mereka memberi utangan karena kami tinggal di situ,” kata Sito.
Masa sulit
Karena semua anggota belum bekerja dan sehari-hari hanya berlatih teater, Rendra menanggung makan mereka. ”Saya tanya, ’Mau makan apa?’. Rendra bilang, ’Sudah, pokoknya makan di rumah’. Dan saya tahu persis, banyak kawan disuruh Rendra menggadaikan apa saja, termasuk piring makan Mbak Narti,” tutur Amaq Baldjun, anggota Bengkel Teater sewaktu bermarkas di Yogyakarta.
Masa-masa sulit menerpa ketika Rendra dijebloskan dalam penjara selama beberapa bulan tahun 1978 karena dianggap membahayakan pemerintahan Orde Baru. Kesusahan makin menjadi Bengkel dilarang pentas sejak tahun 1979 hingga 1986. ”Kami mencari makan dengan membuat berbagai kerajinan kulit atau batu akik,” kata Edi Haryono, anggota Bengkel Teater sejak tahun 1974.
Kelompok bisa bertahan karena ikatan kekeluargaan kuat, sedangkan Rendra juga punya jiwa sosial tinggi. Kadang, bahkan anak-anak kandungnya harus mengalah. ”Di bengkel, hubungan keluarga erat sekali. Dia saya anggap sebagai kakak sendiri,” kata Udin Mandarin, anggota Bengkel sejak tahun 1973.
Sitok Srengenge, penyair dan anggota Bengkel Teater, mengenang bagaimana seorang Rendra menekankan kebersamaan dan ketahanan dalam segala situasi. Seluruh anggota, misalnya, hanya boleh punya dua celana. Jika lebih, harus diberikan kepada kawan lain. ”Tujuannya, mengajarkan kesederhanaan. Kata Rendra, kegagahan dalam kemiskinan,” kenang Sitok.
Bengkel Teater pindah ke Depok, Jawa Barat, tahun 1986, ketika mulai menggarap lakon Penembahan Reso. Setelah diundang pentas di Amerika tahun 1988, kemudian pentas keliling Eropa, mereka dapat uang lumayan banyak. Hasilnya dibelikan tanah dan membuat semacam padepokan di Citayam, Depok, tahun 1989.
Pada masa itu, anggota teater mencapai sekitar 30 orang dan sebagian tinggal di bengkel. Setelah keuangan membaik dan dengan manajemen keuangan lebih profesional, anggota dapat uang transpor dan uang saku untuk keluarga. ”Bagi Rendra, berkesenian adalah jalan hidup dan kami bisa hidup dari karya seni,” kata Edi menambahkan.
Bengkel Teater terakhir kali pentas dengan lakon Sobrat tahun 2005. Setelah itu, tak ada lagi pentas atas nama kelompok ini karena biaya pentas semakin mahal dan sulit mencari sponsor. Rendra kemudian memilih banyak tampil membaca puisi, mengunjungi kelompok seni di daerah-daerah, dan berceramah.
Tonggak
Lalu, bagaimana nasib Bengkel sepeninggal Rendra yang dipanggil Allah, Kamis malam lalu? ”Tak ada pesan baru menyangkut kelanjutan Bengkel. Bengkel Teater adalah Rendra. Kalau tidak ada Rendra, ya tidak menjadi Bengkel Teater Rendra lagi. Papa tak pernah menyiapkan seseorang untuk melanjutkannya,” kata Clara Sinta, anak kelima Rendra dari istri pertamanya, Sunarti.
Mungkin memang sulit meneruskan kelompok ini. Namun, spirit Rendra dengan Bengkel Teater dan kepenyairannya telah menjadi tonggak sejarah teater dan sastra modern di Indonesia. Rendra telah mendorong seni untuk bergumul dengan konteks sosial dengan mengangkat persoalan-persoalan kehidupan nyata. Secara bentuk, lakon-lakon teater itu menyumbangkan berbagai pendekatan, seperti bentuk mini kata, lalu jadi drama penuh kata-kata, drama tragedi besar, drama syair dan gerak, juga drama pamflet.
Sosok Rendra bersama Bengkel Teater-nya telah menjadi kawah penggodok beberapa seniman penting di Tanah Air. Beberapa anggota Bengkel yang kemudian tumbuh menjadi seniman mandiri, sebut saja, antara lain, dramawan dan penyair Putu Wijaya, sutradara Chaerul Umam, aktor Amaq Baldjun, Edi Haryono, penyair Sitok Srengenge, dan aktor Adi Kurdi.
”Kehidupan dan kesenian Rendra itu sangat impresif dan inspiratif bagi anggota teater dan para seniman lain, mungkin juga siapa pun yang pernah menjumpainya,” kata Adi Kurdi, anggota Bengkel saat masih di Yogyakarta. (ilham khoiri/ putu fajar arcana/ ninuk mardiana pambudy)
Karena Namanya Tertulis di Langit
Minggu, 9 Agustus 2009 03:26 WIB
Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?
Aktor Ikranegara telah bergaul dengan Rendra sejak 1960-an. Ketika Rendra pulang dari belajar di The American Academy of Dramatic Art di New York, Amerika, tahun 1967, Ikra melihat Rendra mengejutkan publik dengan mementaskan teater di luar cara yang dikenal selama ini.
”Dia membawa teater tanpa dialog dengan seminim mungkin menggunakan suara. Goenawan Mohamad kemudian memberi nama teater mini kata,” kata Ikra, yang saat itu menjadi wartawan lepas.
Dari wawancara Ikra dengan Rendra, dramawan dan penyair itu menyebut pentas itu sebagai ”bipbop” karena aktornya bergerak sambil mengucapkan ”bipbop”. Menurut Rendra, bentuk tersebut bermula dari kunjungannya ke Bali.
Dramawan dan novelis Putu Wijaya menilai, bunyi bipbop itu berasal dari hiphop, jenis musik jalanan yang melawan kemapanan. ”Itulah mengapa lahir istilah bipbop, tetapi Goenawan memberi nama teater mini kata” kata Putu.
Menurut Ikra, saat di Bali Rendra menyaksikan tari Cak dengan gerak dan vokal. ”Itulah yang menginspirasi Rendra membuat bipbop. Jadi, dia bukan orang yang antitradisi sebagaimana ditafsirkan banyak orang setelah pernyataan tentang kebudayaan Jawa hanyalah kasur tua,” kata Ikra.
Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae yang mengenal Rendra sejak awal 1967-an saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melihat Rendra sebagai sosok yang melawan feodalisme yang kental di Yogyakarta, tempat Bengkel Teater berada. Karena itu, Rendra mengeluarkan pernyataan tentang kebudayaan Jawa seperti kasur tua yang harus dirombak. Tetapi, itu menurut Daniel menjadi energi kreatif Rendra yang melawan budaya yang dia anggap sebagai penghalang. Daniel mencontohkan puisi ”Khotbah” yang terdapat di dalam Blues untuk Bonnie (1971).
Menjadi awal
Periode Rendra dan Bengkel Teater di Yogya bagi Daniel, yang juga peneliti dan pemerhati sastra itu, adalah periode produktif Rendra yang menghasilkan karya paling hebat dan indah. Periode Yogya dan periode Jakarta tidak bisa dipisahkan tegas karena—seperti disebutkan anggota Bengkel Teater, Edi Haryono—Bengkel Teater boyong dari Yogya ke belakangan setelah Rendra mulai tinggal di Jakarta sejak 1978.
Sebagai penggiat dunia teater, Ikra melihat bipbop menjadi awal lahirnya teater kontemporer Indonesia. Sebelumnya, teater modern masuk ke Indonesia dengan realisme Barat sebagaimana dimainkan Teguh Karya. ”Rendra hadir dengan teater kontemporer yang meramu gerak dan vokal, Dan itu dipentaskan justru saat pernikahan Arief Budiman dan Leila di Jakarta,” kata Ikra.
Bagi sastrawan Danarto (69), Rendra adalah sosok seniman yang, selain menghasilkan bentuk-bentuk baru, juga mewakili suara hati masyarakatnya.
Danarto yang mengenal Rendra sejak 1958 terlibat dalam produksi Oedipus Rex pada tahun 1962 di Yogyakarta sebagai produser dan art director. Penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 ini menyebut Rendra sebagai pujangga dengan semangat melakukan perubahan sosial.
Danarto ingat bagaimana pembacaan puisi oleh Rendra di Teater Terbuka TIM Jakarta pada 28 April 1978 dilempari amoniak oleh orang tak dikenal. ”Saya ingat Bang Ali waktu itu berteriak, ’Teruskan, teruskan’. Lalu acara diteruskan dan ada satu penonton pingsan karena mencium amoniak,” kata Danarto.
Lalu, apakah seorang seniman dapat mengubah kedaan, seperti yang dikhawatirkan pemerintahan Orde Baru sehingga perlu memenjarakannya selama enam bulan pada tahun 1978?
”Saya tidak percaya seniman akan mengubah keadaan, seperti yang terjadi pada revolusi. Peran Mas Willy sebagai seniman adalah memberi visi, arah perjalanan bangsnya,” kata Danarto.
Apabila pengaruh Rendra terasa begitu luas dan dalam, Danarto mengatakan, ”Karena nama Rendra sudah tertulis di langit.” (NMP/CAN/IAM)
KOMPAS.COM/IRFAN MAULLANA
Keranda Yang Membawa Rendra
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 05:18 WIB
DEPOK, KOMPAS.com — Menjelang pukul 05.00, Jumat (7/8), jenazah almarhum WS Rendra dibawa dari rumah duka di Kompleks Pesona Kayangan, Depok, Blok AV/5, ke tempat persemayaman terakhirnya di Bengkel Teater Cipayung, Citayam, Depok, Jawa Barat. Dalam keranda berkain hijau, jenazah Rendra dibawa dengan menggunakan mobil ambulans Pesona.
Seperti yang disampaikan oleh pihak kerabat Rendra, Iwan Burnani, jenazah Rendra rencananya akan dimakamkan di kompleks pemakaman seniman Bengkel Teater siang nanti. Pemakaman akan dilakukan setelah disembahyangkan dalam shalat Jumat dan menunggu kedatangan putranya, Yonas, dari Kalimantan.
Sebelum pemakaman, jenazah rencananya akan disemayamkan di Rumah Lampung. Seluruh kerabat ikut dalam rombongan jenazah Rendra, termasuk putrinya, Clara Sintha, atau yang biasa dipanggil Auk. Istri Rendra, Ken Zuraida, diperkirakan juga ikut meski tak tampak memasuki mobil rombongan.
Rendra Tetap Suarakan Nasib Rakyat

Dedi Mizwar saat melayat ke rumah almarhum WS Rendra di Depok
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 02:58 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Meskipun terkulai di rumah sakit selama masa pengobatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, "Si Burung Merak" tetap ngotot membicarakan nasib rakyat dibanding kesehatannya.

"Saya beri dia semangat ayo cepat sembuh dan baca puisi sama-sama. Tapi dia justru membicarakan nasib rakyat setelah pilpres saat itu," kenang aktor senior Dedi Mizwar saat mengunjungi rumah duka Rendra, di perumahan Pesona Khayangan Depok II, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8).

Diceritakan juga oleh Dedi, jika Rendra selama menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading terus berceloteh soal perkembangan ekonomi bangsa. "Gimana konsep ekonomi yang mendukung rakyat, keprihatinan tentang bangsa ini," cerita Dedi sambil menirukan ucapan Rendra.

"Dia sampai napasnya terengah-engah, bahkan bisa bicara lancar dan garang. Seperti kita tahu itulah Rendra," sambung Dedi.

Seperti dituturkan Dedi, jika Rendra yang terus ngotot membicarakan nasib bangsa ini akhirnya berhenti berbicara setelah napasnya sesak saat itu. "Sampai akhirnya beliau sesak napas karena bicara terus," ujar Dedi.

Namun, di luar dugaan setelah sesak napas itu, keesokan harinya Rendra kembali membaik. "Besoknya dia pindah dari ICU ke ruang biasa, mungkin karena sudah plong," ujar Dedi.

Dalam kesempatan yang sama Dedi pun mengakui kekagumannya terhadap sosok Rendra. "Di akhir hayatnya dia berpikir tentang bagaimana bangsa ini, bahkan pada saat sakit dia tidak bicara tentang sakit, justru rakyat diutamakan," ungkap Dedi.

"Tiap orang akan mendapatkan apa pun karena kebaikan-kebaikannya, kita harus memaafkan dengan seiklas-ikhlasnya. Pemikirannya terus dihidupkan dan karyanya terus didengungkan," tutup Dedi. (C7-09)
Obituari
WS Rendra, Burung Merak Itu Terbang Selamanya...

KOMPAS Images/Fikria Hidayat
Jenazah budayawan WS Rendra, disemayamkan di rumah duka Perumahan Pesona Khayangan, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) dini hari. WS Rendra yang dijuluki 'Si Burung Merak' meninggal dunia pada Kamis (6/8) pukul 22.05 WIB di RS Mitra Keluarga Depok.
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 01:28 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yurnaldi
KOMPAS.com — Kabar duka masih menggelayut di Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok. Belum habis rasa duka yang mendalam dengan kepergian seniman fenomenal Mbah Surip (52) yang dikebumikan Selasa (4/8) malam, kabar duka datang lagi.
Penyair terkemuka Willibordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan WS Rendra (74), meninggal dunia, Kamis (6/8) sekitar pukul 22.05 WIB. Penyair berjuluk "Si Burung Merak" itu terbang selamanya....
"Bapak meninggal sekitar pukul 20.05 WIB setelah sempat disuapi bubur dan dikasih minum," ungkap putrinya, Clara Shinta, kepada Kompas.com, semalam.
Menurut penuturan Clara, yang juga dikenal sebagai artis sinetron, bapaknya tengah mengalami sakit komplikasi dan sempat dirawat di rumah sakit. Jenazah almarhum semalam disemayamkan di kediaman putrinya itu yang terletak di Perumahan Pesona Khayangan Depok.
Banyak seniman dan sastrawan merasa kehilangan dan duka yang mendalam. Sastrawan Hamsad Rangkuti (66) yang terakhir sempat bersama Rendra ketika memperingati 15 tahun wafatnya pelukis Nashar di Denpasar, Bali, Juni 2009 lalu, mengatakan sangat kehilangan.
"Rendra suatu malam tak keluar kamar. Katanya, ia ingin menghindari makan yang enak-enak. Malam berikutnya, ketika diajak makan di warung, ia mau dan selalu mengingatkan bahwa semua ini harus kita lalui, karena kita diberi umur panjang," katanya.
Rendra yang sudah menunaikan ibadah haji lebih satu kali ini, lanjut Hamsad, sempat mengutip ayat-ayat Al Quran; "Kuberi kamu berumur panjang, tapi Kukurangi hal-hal lain." Hamsad pun berkali-kali dapat pesan pendek di telepon selulernya, yang berisikan nasihat untuk istrinya, sebelum operasi kanker payudara.
Menurut sastrawan terkemuka peraih SEA Write Awards tahun 2008 ini, kematian Rendra adalah kehilangan besar bangsa ini. Penyair besar yang sangat peduli dengan persoalan bangsa ini.
Dalam suatu pembacaan puisi memperingati Seabad Bung Hatta di Padang, Sumatera Barat, 29 Agustus 2002, Rendra dalam puisinya memukau belasan guru besar dan puluhan doktor. Ini satu bait dari 23 bait puisi yang dibacakannya:
... Dengan puisi ini aku bersaksi/bahwa rakyat Indonesia belum merdeka/Rakyat yang tanpa hak hukum/bukanlah rakyat merdeka./Hak hukum yang tidak dilindungi/oleh lembaga pengadilan yang mandiri/adalah hukum yang ditulis di atas air!//," ucap Rendra, ketika itu.
Sajak tersebut, kata Rendra, ketika itu adalah penghormatan kepada Mohammad Hatta. "Beliau saya anggap sebagai pelopor pejuang pembebasan bangsa Indonesia dan bukan sekadar pembebasan negara dari kolonialisme belaka," ujarnya kepada Kompas saat itu.
Rendra tidak hanya garang dalam sajak. Akan tetapi, juga saat menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam makalah. "Sejak rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), dan Megawati, ternyata demokrasi kita adalah demokrasi elite politik, bukan demokrasi rakyat. Demokrasi elite politik dalam praktiknya menjajah daulat rakyat. Tanpa daulat hukum tak ada daulat rakyat, dan tanpa daulat rakyat tak ada kontrol terhadap keadilan hukum," ujarnya.
Dalam percaturan seni kontemporer Indonesia (sastra dan teater/drama), WS Rendra, yang dipanggil Mas Willy ini, adalah satu yang paling terkemuka. Dilahirkan di Solo, 7 November 1935, penyair yang mengklaim diri berumah di angin karya-karya dikenal banyak orang. Tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Dalam suatu sajaknya; untuk Kembali ke Angin Rendra mengatakan:
Kemarin dan esok
adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan
sama saja
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.

Ya, bencana dan keberuntungan, bagi Rendra, sama saja. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Semoga Mas Willy mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin.(YURNALDI)
/Home/Oase/Cakrawala
Si Burung Merak Dimakamkan Jumat di Bengkel Teater WS Rendra

LIN
Jenazah penyair WS Rendra tiba di rumah duka di kompleks Pesona Depok Blok AV/5 Depok. Kedatangannya disambut isak tangis putra-putrinya.
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 00:50 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Jenazah tokoh teater modern H Wahyu Sulaiman Rendra (WS Rendra) menurut rencana akan dikebumikan seusai pelaksanaan shalat Jumat (7/8). Hal ini diketahui dari papan pengumuman yang dipampang pihak keluarga di depan rumah duka di Kompleks Pesona Kayangan Blok A No 5.
Pria kelahiran Solo, 7 November 1935, itu akan dimakamkan di Bengkel Teater WS Rendra, Cipayung, Citayam, Depok. Hingga berita ini diturunkan, kondisi rumah duka masih terus dikunjungi oleh kerabat Rendra. Beberapa saat yang lalu, mantan anggota KPU Mulyana tampak memasuki rumah duka untuk melayat.

C10-09


Kemarin Iwan Fals Sempat Menghibur Rendra

Kompas/Arbain Rambey
WS Rendra
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 00:21 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah mendapat kabar dari Toto Tewel yang pada Rabu (5/8) siang menjenguk WS Rendra di kediaman Clara Shinta di Pesona Khayangan, Depok, seusai latihan di studionya di Leuwinanggung pada Rabu malam, Iwan Fals langsung bergegas menuju kediaman Clara Shinta untuk menengok kondisi WS Rendra yang sedang sakit.
Menurut penuturan Toto Tewel, yang juga mantan suami Clara, kondisi mantan mertuanya itu sudah cukup parah. "Tapi kayaknya dikuat-kuatkan. Beliau tampak kesulitan bernapas," ujar Toto melalui telepon.
Toto menuturkan, meski sudah susah bicara tetapi Rendra masih sempat memberi senyum. Sementara Iwan Fals, menurut Toto, sempat mengajak bercanda "Si Burung Merak" seraya memijati tangan Rendra yang kala itu duduk di kursi roda.
Pada Rabu malam itu, sekira pukul 21.00 WIB, selain Iwan Fals dan Toto Tewel, tampak terlihat istri Rendra, Ken Zuraida; Samuel dan Clara Shinta, kedua anak Rendra dari Sunarti Suwandi; dan musisi Franky Raden.
WS Rendra diketahui telah mengidap sakit jantung sejak tahun lalu. Pada jantungnya sudah dipasang ring. Sebulan yang lalu, Willy, demikian Rendra akrab disapa, pernah dibawa ke RS Cinere, terus pindah ke RS Harapan Kita, lalu RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, sebelum akhirnya dibawa ke rumah Clara Shinta pada Selasa (4/8) malam, bertepatan dengan penguburan Mbah Surip yang dimakamkan di pekarangan rumah WS Rendra di wilayah Cipayung, Depok.

JY


Rendra Pergi Jauh Setelah Minta Makan

PERSDA NETWORK/Bian Harnansa
Budayawan WS Rendra saat tampil di acara Java Jazz Festival 2008, Jakarta, 9 Maret 2009 lalu. Penyair ternama yang dijuluki 'Burung Merak' ini meninggal dunia, Kamis (6/8) pukul 22.05, dalam usia 74 tahun.
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 04:55 WIB
DEPOK, KOMPAS.com — Pulang ke rumah adalah keinginan almarhum WS Rendra ketika dirawat terakhir kali di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading beberapa waktu lalu. Keinginan itu terwujud setelah dokter membolehkannya pulang.
Diizinkan pulang, Rendra dirawat di kediaman putrinya, Clara Sinta, atau yang akrab dipanggil Auk, di Kompleks Pesona Depok Blok AV/5, Depok.
Di rumah inilah, ajal menjemput pria kelahiran Solo, 7 November 1935, ini. "Meninggalnya ditunggui putrinya ketika minta minum dan makan, tiba-tiba menghilang saja. Tidak ada raungan, kesakitan. Meninggal dengan tenang dan dengan baik. Ini jalan terbaik baginya," tutur rekan seperjuangan Rendra, Eros Djarot, di depan rumah duka, Jumat (7/8).
Mengutip cerita putri Rendra, Auk, Eros mengatakan, Rendra sempat menyatakan ingin terus hidup. Namun sayangnya, setelah minta makan bubur, pria yang dijuluki Burung Merak ini 'terbang' untuk selamanya.
"Jadi tidak ada tanda-tanda yang cukup berarti mau pergi. Yang sangat menyenangkan, kepergiannya di sebuah kamar, seperti yang dia inginkan sebelumnya, pulang ke rumah," lanjut Eros.

LIN
WS Rendra Pergi dengan Wajah Tenang dan Bersih

KOMPAS Images/Fikria Hidayat
Jenazah budayawan WS Rendra, disemayamkan di rumah duka Perumahan Pesona Khayangan, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) dini hari. WS Rendra meninggal dunia pada Kamis (6/8) pukul 22.05 WIB di RS Mitra Keluarga Depok.
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 04:47 WIB
DEPOK, KOMPAS.com — Menjelang dibawa ke kawasan Bengkel Teater Cipayung pada pukul 06.00 nanti, Jumat (7/8), jenazah WS Rendra mulai dimandikan sekitar pukul 02.30 tadi. Shalat setelah ritual mandi dipimpin oleh Ustaz Mochtar, rekannya di Bengkel Teater.
Hal ini disampaikan artis senior Eros Djarot, rekan seperjuangan Rendra dalam grup Kantata Takwa, ketika keluar dari rumah duka menjelang pukul 03.00. "Tadi setengah tiga dimandikan, ditunggui anaknya, Clara Sinta, dan kerabat lainnya," tutur Eros di depan rumah duka.
Eros mengatakan, sejumlah rekan juga ikut menunggui ritual mandi tersebut, antara lain mantan Mensesneg Moerdiono. Eros juga sempat bertutur soal jenazah Rendra yang dilihatnya.
"Wajahnya tenang, bersih. Mungkin karena meninggal di ranjang Auk (Clara Sinta) di rumah ini," lanjut Eros.

LIN

Sebelum Wafat, Rendra Minta Potong Kuku

Kompas/JB Suratno
WS Rendra
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 03:05 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Seolah tahu akan wafat, WS Rendra meminta agar kukunya dipotong dan dibersihkan. "Dua minggu yang lalu kita ngobrol dan dia merasa dipenjara, tetapi ya..sudah waktunya," cerita Poppy ditemui di rumah duka WS Rendra, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8) dini hari.
Poppy yang aktif bersama Rendra di perguruan Bangau Putih seperti merasakan keganjilan akan ditinggal "Si Burung Merak". "Kita sama dari Bangau Putih, kita memiliki rasa kekeluargaan," aku Poppy.
"Sepertinya beliau memang sudah siap-siap dan meminta dipotongkan kuku sambil bercanda," sambungnya. Lebih lanjut Poppy menambahkan, Rendra sebagai orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan ilmu kebudayaan seolah sudah mengetahui ajalnya akan tiba.
"Kita di Bangau Putih menganggap mati itu adalah sesuatu yang sudah dipersiapkan," tuturnya. (C7-09)
Rendra Jadikan Teater Tak Sekadar Tontonan

Kompas/Eddy Hasby
Rendra ketika membacakan puisi terkenalnya berjudul Suto Mencari Bapak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (6/4)
/

Jumat, 7 Agustus 2009 | 00:12 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Penggiat teater yang juga pendiri gerakan Budaya Cultura Di Vita, Sulistiadi, kaget sekaligus bersedih atas meninggalnya dramawan dan budayawan WS Rendra di kediaman putrinya, Clara Sinta, pukul 20.30 WIB di Pesona Khayangan, Depok, Jawa Barat.
"Tokoh ini belum ada gantinya di bidang teater dan budaya. Bisa disebut tokoh beberapa zaman dan tidak ada seorang pun yang punya kualitas seperti dia. Ini kehilangan besar untuk dunia teater. Kita masih membutuhkan dan mengusahakan tokoh lain supaya mengisi kekosongan itu," ungkap Sulis, demikian pria yang menyebut dirinya murid tidak langsung WS Rendra ini disapa.

Sulis, yang kenal Rendra saat masih mahasiswa tahun 1986, ini menyebutkan, Rendra merupakan tokoh yang konsisten dengan panggilannya. Dia juga tokoh berkepribadian, yang mendedikasikan hidupnya untuk teater. "Saya berutang budi pada beliau. Secara tidak langsung saya mendapat pendidikan teater dari beliau, meskipun saya sebenarnya muridnya Adi Kurdi," jelas Sulis. Adi Kurdi adalah salah satu anggota Bengkel Teater WS Rendra, yang juga adik ipar dramawan ini.
Menurut Sulis, Rendra dikatakan berjasa besar karena setia pada tradisi Indoensia. Dia merupakan tokoh yang mengombinasikan teater klasik dan gerak wayang. "Bloking teater Rendra itu bersih kayak wayang, tidak seperti teater Gandrik yang lebih mirip ketoprakan," jelas Sulis.
Rendra, sebut Sulis, menjadikan teater tidak hanya sekadar entertain, tetapi juga tempat bagi pemainnya untuk mengolah kejiwaan, karena Rendra berangkat dari religiusitas. "Dalam teater, kualitas manusia diolah betul. Teater juga tidak hanya tontonan tetapi menjadi tuntutan," jelas pria yang pernah belajar Komunikasi Sosial Jurusan Film dan Televisi, Salesiana, di Italia.

ABD
Pintu Ditutup Rapat, Info Pemakaman Rendra Tak Terungkap

Mardanih
Jenazah WS Rendra Dibawa Pulang Ke Rumah Duka dari RS Mitra Keluarga
/
Jumat, 7 Agustus 2009 | 00:10 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pujangga Indonesia WS Rendra atau yang bisa dikenal dengan julukan "Si Burung Merak" telah meninggal dunia pada Kamis (6/8) pukul 20.30 WIB di kediaman salah satu putri Rendra, Clara Shinta, Pesona Khayangan Blok AV No 5, Depok, Jawa Barat.
Pihak keluarga besar Rendra tampak langsung menolak wartawan yang coba mendekat.

"Tolong kasih kami sedikit privacy," seru salah satu kerabat Rendra dari dalam garasi.

Spontan keluarga Rendra pun menutup pintu rapat-rapat dan langsung terdengar takbir dari dalam ruang tamu.

Hingga berita ini diturunkan belum ada keterangan resmi dari keluarga Rendra mengenai kapan dan di mana "Si Burung Merak" akan dikebumikan. (C7-09)

Rendra Tiba di Rumah Duka

Mardanih
Jenazah WS Rendra Dibawa Pulang Ke Rumah Duka dari RS Mitra Keluarga
/
Kamis, 6 Agustus 2009 | 23:34 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
DEPOK, KOMPAS.com - Jenazah penyair WS Rendra tiba di rumah duka di Kompleks Pesona Depok Blok AV/5 Depok sekitar pukul 23.20 dengan ambulans dari RS Mitra Depok. Rumah ini merupakan kediaman putrinya Clara Santi.
Kedatangan jenazah Rendra disambut isak tangis dari putra dan putrinya baik dari istri pertamanya Sunarti maupun istri ketiganya Ken Zuraida. Putra-putri Rendra juga tak ingin media massa yang menyerbu "Papa belum mati. Tolong dong kasih privacy," seru salah seorang putrinya yang berkaus hijau.
Hingga berita ini diturunkan, kerabat sedang membenahi ruang di dalam rumah dan menyebarkan bendera kuning di sekitar kompleks menuju rumah duka.
Butet Kertaredjasa: Mas Willi Tokoh Jenius

Kompas
Butet Kertaradjasa
/

Kamis, 6 Agustus 2009 | 23:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Raja monolog yang juga merupakan salah satu tokoh teater Indonesia, Butet Kartaredjasa menyebutkan WS Rendra sebagai tokoh besar, seorang jenius yang pernah lahir di bumi Indonesia.

Selain aktor, Rendra dikatakan juga sebagai penyair, penulis skenario, serta seorang intelektual dan sutradara luar biasa. Sumbangannya sangat berharga bagi kehidupan teater modern Indonesia. Pemikiran, kreativitas dan inovasinya sangat mempengaruhi perjalanan teater modern Indonesia.

"Saya sebagai pekerja teater termasuk yang berani memilih teater sebagai jalan kehidupan diinspirasi oleh keteguhan sikap beliau dalam mengabdikan diri di dunia keseniam," ungkap Butet lewat sambungan telepon di Surabaya, Kamis (6/8).

Meski bukan murid langsung dari Rendra, tapi menyaksikan pertunjukan Mas Willi, sapaan akrab terhadap si burung merak ini, Butet merasa dekat dengan Rendra. "Sejak masih kanak-kanak kebetulan dengan keluarga (Rendra) kami bertetangga kampung. Beliau sahabat ayah kami. Anak-anak Mas Willi teman sekolah saya," jelas Butet.

Bagaimana pun Butet merasakan ada yang bolong atas kehilangan si burung merak ini setelah para empu teater tiada. "Kemarin saat Bulan Mei mengunduh mantu, beliau menyempatkan datang ke rumah saya, di siang hari, satu hari setelah pelaksanaan perkawinan anak saya. Beliau merasa bersalah karena tidak bisa hadir pada acara resmi. Itu suatu kehormatan. Beliau sesepuh, tapi memerhatikan dengan serius pada saya yang secera generasi sangat jauh. Membanggakan sekaligus mengharukan. Rupanya itu pertemuan terakhir," cerita Butet.

Lalu Butet pun bertutur. Terhadap Rendra, dirinya selalu mendudukkan dia sebagai ayah. "Mengingatkan penyakit dan kesehatan, mencoba menciptakan kegembiraan," jelas Butet menutup pembicaraan.

ABD

Riwayat dan Karya Si Burung Merak

Kompas/Eddy Hasby
WS Rendra
/
Artikel Terkait:
Kamis, 6 Agustus 2009 | 23:00 WIB
KOMPAS.com - Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935; umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

Masa kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu

Pendidikan
* TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
* SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
* Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
* mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Bengkel Teater
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.

Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan
* Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
* Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
* Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
* Hadiah Akademi Jakarta (1975)
* Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
* Penghargaan Adam Malik (1989)
* The S.E.A. Write Award (1996)
* Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Beberapa karya
Drama
* Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
* Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
* SEKDA (1977)
* Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
* Mastodon dan Burung Kondor (1972)
* Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
* Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
* Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
* Lisistrata (terjemahan)
* Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
* Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
* Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
* Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
* Panembahan Reso (1986)
* Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)

Sajak/Puisi
* Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
* Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
* Blues untuk Bonnie
* Empat Kumpulan Sajak
* Jangan Takut Ibu
* Mencari Bapak
* Nyanyian Angsa
* Pamphleten van een Dichter
* Perjuangan Suku Naga
* Pesan Pencopet kepada Pacarnya
* Potret Pembangunan Dalam Puisi
* Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
* Rick dari Corona
* Rumpun Alang-alang
* Sajak Potret Keluarga
* Sajak Rajawali
* Sajak Seonggok Jagung
* Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
* State of Emergency
* Surat Cinta
Sumber: Wikipedia


Si Burung Merak Telah Tiada

PERSDA/ BIAN HARNANSA
WS RENDRA
/
Kamis, 6 Agustus 2009 | 22:31 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Jodhi Yudono
JAKARTA, KOMPAS.com — WS Rendra, budayawan dan penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", meninggal dunia dalam usia 74 tahun, pada Kamis (6/8) malam.

Kabar meninggalnya WS Rendra diperoleh Kompas.com melalui keterangan putrinya, Clara Shinta. Rendra, yang lahir di Solo 7 November 1935, wafat di kediaman putrinya itu yang terletak di Kompleks Perumahan Pesona Kayangan, Depok.

"Bapak meninggal sekitar pukul 20.30 WIB setelah sempat disuapi bubur dan dikasih minum," ungkap Clara.

Menurut penuturan Clara, yang juga dikenal sebagai artis sinetron, ayahnya memang tengah mengalami sakit komplikasi dan sempat dirawat di rumah sakit.

Hingga saat ini, belum ada informasi tentang rencana pemakaman Rendra. Namun, berdasarkan informasi, saat ini juga tengah dilakukan persiapan di Bengkel Teater, Citayam, Depok, untuk menyambut jenazah WS Rendra.
Mengenang Rendra
Karena Namanya Tertulis di Langit

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Jenazah almarhum penyair WS Rendra diusung menuju masjid untuk dishalatkan sebelum dimakamkan di padepokan seni Bengkel Teater di Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8). Rendra meninggal Kamis malam pada usia 74 tahun akibat serangan jantung.
/
Minggu, 9 Agustus 2009 | 07:35 WIB
KOMPAS.com — Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?
Aktor Ikranegara telah bergaul dengan Rendra sejak 1960-an. Ketika Rendra pulang dari belajar di The American Academy of Dramatic Art di New York, Amerika, tahun 1967, Ikra melihat Rendra mengejutkan publik dengan mementaskan teater di luar cara yang dikenal selama ini.
”Dia membawa teater tanpa dialog dengan seminim mungkin menggunakan suara. Goenawan Mohamad kemudian memberi nama teater mini kata,” kata Ikra, yang saat itu menjadi wartawan lepas.
Dari wawancara Ikra dengan Rendra, dramawan dan penyair itu menyebut pentas itu sebagai bipbop karena aktornya bergerak sambil mengucapkan bipbop. Menurut Rendra, bentuk tersebut bermula dari kunjungannya ke Bali.
Dramawan dan novelis Putu Wijaya menilai, bunyi bipbop itu berasal dari hiphop, jenis musik jalanan yang melawan kemapanan. ”Itulah mengapa lahir istilah bipbop, tetapi Goenawan memberi nama teater mini kata” kata Putu.
Menurut Ikra, saat di Bali Rendra menyaksikan tari Cak dengan gerak dan vokal. ”Itulah yang menginspirasi Rendra membuat bipbop. Jadi, dia bukan orang yang antitradisi sebagaimana ditafsirkan banyak orang setelah pernyataan tentang kebudayaan Jawa hanyalah kasur tua,” kata Ikra.
Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae yang mengenal Rendra sejak awal 1967-an saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melihat Rendra sebagai sosok yang melawan feodalisme yang kental di Yogyakarta, tempat Bengkel Teater berada. Karena itu, Rendra mengeluarkan pernyataan tentang kebudayaan Jawa seperti kasur tua yang harus dirombak. Tetapi, itu menurut Daniel menjadi energi kreatif Rendra yang melawan budaya yang dia anggap sebagai penghalang. Daniel mencontohkan puisi ”Khotbah” yang terdapat di dalam Blues untuk Bonnie (1971).
Menjadi awal
Periode Rendra dan Bengkel Teater di Yogya bagi Daniel, yang juga peneliti dan pemerhati sastra itu, adalah periode produktif Rendra yang menghasilkan karya paling hebat dan indah. Periode Yogya dan periode Jakarta tidak bisa dipisahkan tegas karena—seperti disebutkan anggota Bengkel Teater, Edi Haryono, Bengkel Teater boyong dari Yogya ke belakangan setelah Rendra mulai tinggal di Jakarta sejak 1978.
Sebagai penggiat dunia teater, Ikra melihat bipbop menjadi awal lahirnya teater kontemporer Indonesia. Sebelumnya, teater modern masuk ke Indonesia dengan realisme Barat sebagaimana dimainkan Teguh Karya. ”Rendra hadir dengan teater kontemporer yang meramu gerak dan vokal, Dan itu dipentaskan justru saat pernikahan Arief Budiman dan Leila di Jakarta,” kata Ikra.
Bagi sastrawan Danarto (69), Rendra adalah sosok seniman yang, selain menghasilkan bentuk-bentuk baru, juga mewakili suara hati masyarakatnya.
Danarto yang mengenal Rendra sejak 1958 terlibat dalam produksi Oedipus Rex pada tahun 1962 di Yogyakarta sebagai produser dan art director. Penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 ini menyebut Rendra sebagai pujangga dengan semangat melakukan perubahan sosial.
Danarto ingat bagaimana pembacaan puisi oleh Rendra di Teater Terbuka TIM Jakarta pada 28 April 1978 dilempari amoniak oleh orang tak dikenal. ”Saya ingat Bang Ali waktu itu berteriak, ’Teruskan, teruskan’. Lalu acara diteruskan dan ada satu penonton pingsan karena mencium amoniak,” kata Danarto.
Lalu, apakah seorang seniman dapat mengubah kedaan, seperti yang dikhawatirkan pemerintahan Orde Baru sehingga perlu memenjarakannya selama enam bulan pada tahun 1978?
”Saya tidak percaya seniman akan mengubah keadaan, seperti yang terjadi pada revolusi. Peran Mas Willy sebagai seniman adalah memberi visi, arah perjalanan bangsanya,” kata Danarto.
Apabila pengaruh Rendra terasa begitu luas dan dalam, Danarto mengatakan, ”Karena nama Rendra sudah tertulis di langit.” (NMP/CAN/IAM)

Setelah Pergi, Baru Sadari Betapa Pentingnya Rendra

Setelah Pergi, Baru Sadari Betapa Pentingnya Rendra
PERSDA/BIAN HARNANSA/WS RENDRA/
Jumat, 7 Agustus 2009 06:06 WIB
KOMPAS.com — Duka datang berendeng menghampiri kita. Setelah pada Selasa (4/8) lalu penyanyi Mbah Surip pergi, pada Kamis malam (6/8) pukul 20.30 WIB, giliran budayawan dan penyair WS Rendra menyusul menghadap Sang Khalik.
Seperti telah saling janjian, kedua seniman yang telah mendahului kita itu menempati "rumah" abadi yang sama hanya selisih dua hari, yakni di pekarangan rumah WS Rendra di daerah Cipayung, Depok, Jawa Barat.
Willybrodus Surendra Broto yang kemudian berganti nama menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah dirinya Muslim, menjalani perawatan jantung sejak setahun lalu. Berkali-kali ia masuk rumah sakit, sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhirnya di kediaman salah satu putrinya, Clara Shinta, di Perumahan Pesona Kayangan, Depok, Bogor.
Sebagai pengagumnya, tentu saja saya amat sangat kehilangan dia. Gara-gara salah satu puisinya yang terangkum dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi, saya bersikeras kepada ayah untuk tak lagi repot-repot mengongkosi kuliah saya. Saya pilih berhenti sebagai Sarjana Muda dan memulai "kuliah" di jalanan bersama para seniman, buruh-buruh pabrik di Srondol, dan gelandangan di Simpang Lima, Semarang, di pertengahan tahun 80-an. Puisi itu kurang lebih bercerita tentang pendidikan. Pendidikan kita berkiblat ke Barat. Di Barat, anak-anak dididik untuk menjadi mesin industri, sedangkan kita? Dididik untuk menjadi kuli! Wah..., jiwa muda saya yang membara pun langsung bergetar.
AKSI SI BURUNG MERAK SAAT MEMBACA PUISI atau SAJAKNYA
Pertama kali melihat ia membacakan puisi-puisinya di Semarang pada tahun 1985. Sungguh menggelorakan jiwa muda saya saat itu. Masih saya kenang hingga kini, bagaimana ia membawakan sajak-sajaknya dan lalu melemparkan ke udara setelah rampung dibaca. Dengan tangan terkepal meninju udara, ia melangkah membelah panggung, lantas suaranya yang parau itu pun meneriakkan judul puisi yang akan dibacakannya:
Sajak Sebatang Lisong

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya

Meski ia telah tampak sepuh karena usia telah menginjak lima puluh, toh sihir suara dan ekspresinya sungguh-sungguh telah menjadi racun bagi saya untuk makin dalam bergulat dengan dunia teater dan susastra.

Saya pun mulai melahap puisi-puisi karyanya. Beberapa puisinya bahkan pernah saya hafal di luar kepala. Nyanyian Angsa, itulah salah satunya. Saya pun terkesan dengan gaya bercerita Rendra yang kuat dalam kumpulan puisi Balada Orang-Orang Tercinta yang ia bukukan di pertengahan tahun 50-an. Bahasanya yang lentur dan keseharian, membuat puisi-puisinya yang getir tetap enak dinikmati.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo yang berkisah tentang matinya seorang perampok bernama Atmo Karpo di tangan anaknya sendiri, Joko Pandan, adalah puisi yang amat dramatik.

Dan inilah ujung puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo yang selalu saya kenang,

Berberita ringkik kuda muncullahJoko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kodok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak sorai, anggur darah

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
ia telah membunuh bapaknya

Hmm... saya juga tak bosan-bosannya menikmati romantisme hitam puisi Balada Ibu yang Dibunuh

Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang

Lalu, hingga kini.. saban kali kangen pada ibu, saya pun lantas teringat pada puisi Nyanyian Bunda yang Manis.

Kalau putraku datang
ia datang bersama bulan
kena warna jingga dan terang
adalah warna buah di badan

Wahai telor madu dan bulan!
Perut langit dapat sarapan

Ia telah berjalan jauh sekali
dan kakiknya tak henti-henti
menapaki di bumi hatiku
Ah, betapa jauh kembara burungku!

Awal tahun 90-an, saya bertemu dan berkenalan dengannya. Saya pun memanggilnya Mas Willy, sebagaimana orang-orang menyapanya. Tubuhnya yang selalu wangi, roman mukanya yang ganteng, serta tutur katanya yang terjaga dalam kecerdasan, membuat siapa pun akan menyimak hikmat tiap kali ia bicara.
Rendra bak kamus berjalan. Ia, kendati tak kelar kuliah, adalah pemikir ulung untuk urusan sejarah bangsa ini. Ia jabarkan dengan detail riwayat kekuasaan raja-raja Jawa. Ia pun paham benar mengenai kultur orang darat dan air. Saya masih ingat dengan statement dia tentang kekuasaan di negeri ini, menurutnya, dari dulu hingga kini negeri ini dikuasai oleh preman. "Anda kira siapa itu Gadjah Mada? Ken Arok, Soeharto... preman!" kata Rendra dalam sebuah diskusi.
Di Makassar pada tahun 1998, saya kian dekat dengan Rendra. Kami makan malam bersama di sebuah rumah makan dekat Pantai Losari yang menyajikan ikan bakar. Bagai tokoh kuliner, ia pun berkata, "Yang gosong jangan dibuang, itu justru yang enak. Hmmm," Rendra mengupas kulit ikan yang gosong lalu langsung mengudapnya.
Setelah itu, kami kian kerap bertemu. Kadang di rumah Setiawan Djody, atau di acara diskusi, tapi sekali-sekala saya juga menyempatkan diri datang ke kediamannya yang asri di Cipayung.
Pernah pada sebuah sore di tahun 2003, di halaman sebuah gedung pertemuan di Kota Jambi, kami bersitatap sambil bersalaman. Kala itu kami bersepakat untuk mengaku saya sebagai anaknya dan ia sebagai bapak saya.
Entah apa sebabnya tiba-tiba kesepakatan itu terjadi. Yang terang saat itu saya terharu kala melihat Rendra bicara tentang kesehatan masyarakat, terutama untuk mereka yang terkena penyakit TBC. Bukan materi pembicaraan dia yang membuat saya tertegun, tapi gerak tubuhnya yang telah lamban itulah yang membikin saya ingin melindunginya.
Saya sungguh trenyuh kala itu. Dalam hati saya berucap, inikah orang yang dulu pernah menaklukkan beribu-ribu mata dan jiwa penggemarnya ketika dirinya di panggung. Inikah orang yang dulu galak memimpin kawan-kawan demonstran melawan rezim Soeharto? Pertanyaan berjubel-jubel di kepala saya.
Begitu selesai bicara di muka forum, saya pun langsung bergegas menghampirinya seraya menuntun tangannya keluar ruangan. Di Belakang kami ada Ken Zuraida, istri Rendra, serta beberapa anak Bengkel Teater, mengiringi kami.
Di luar, seorang wartawan mencegat Rendra untuk memberitahu, sebentar nanti ada acara diskusi bersama kawan-kawan seniman Jambi. Lantaran Mba Ida, demikian Ken Zuraida biasa disapa, tak bisa mengikuti acara diskusi, ia pun meminta saya untuk mengiringi Mas Willy, "Tolong dijaga Mas Willy," kata Mba Ida sebelum kami berangkat ke acara diskusi. Sejak saat itu, saya pun kerap memanggil Mas Willy dengan sebutan Pak Rendra.
Dari Jambi kami meneruskan perjalanan ke Medan untuk acara yang sama dengan di Kota Jambi. Pak Rendra tampak kelelahan setibanya di Medan. Sebab, karena cuaca buruk, dari Jambi pesawat yang kami tumpangi harus menuju ke Jakarta lebih dahulu, sebelum akhirnya terbang ke Medan.
Di tengah-tengah road show itu, saya sempat berterus terang kepadanya, mengapakah dirinya tampak begitu letih. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia pun berterus terang bahwa dirinya bukan bapak yang baik bagi anak-anaknya, dan ia sangat ngungun karenanya.
Kini Rendra telah pergi. Ia tak cuma meninggalkan catatan-catatan susastra yang diakui komunitas sastra dunia, tapi juga pemikiran-pemikiran brilian tentang bangsa ini. Dialah yang senantiasa mengingatkan para penguasa negeri ini agar selalu berpihak kepada rakyat. Dia pula yang selalu membela orang-orang tertindas untuk bangkit.
Rendra telah berpulang. Bukan cuma ini kali kita ditinggal pergi oleh orang-orang besar macam Rendra. Sebelum Rendra ada Ali Sadikin, Soekarno, Mbah Surip, dan tokoh-tokoh lainnya. Tapi selalu saja kita tak pernah belajar bagaimana kita menghargai dan memulyakan orang-orang besar itu secara sepatutnya semasa hidupnya. Lihatlah Drs Sujadi yang menjadi tokoh Pak Raden dalam film Si Unyil itu yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk dunia anak-anak; ia masih mengontrak rumah padahal usianya telah senja. Pandanglah juga Pak Gesang yang baru diingat justru setelah orang Jepang mengingatnya. Lihatlah juga para atlet yang telah mengharumkan bangsa ini yang sebagian di antaranya hidup terlunta-lunta, dan masih banyak orang-orang besar lainnya yang dilupakan.
Sesal apa yang harus kita sesali. Rendra telah kembali menghadap Ilahi. Satunya yang sisa adalah harapan akan lahirnya Rendra Rendra baru yang sanggup menggedor ketidakadilan dengan pena dan suara. Begitulah, kita merasa kehilangan Rendra justru ketika dia telah tiada.
Jodhi Yudono . JY

Rabu, 12 Agustus 2009

Gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari Di Muka Pecahan Uang Kertas Baru

Pangeran Antasari
Pangeran Antasari lukisan versi Hasan Salman
Lukisan Pangeran Antasari menurut Peraturan Daerah Kalimantan Selatan.Pangeran Antasari (lahir: 1797, Kalimantan Selatan –wafat: Bayan Begak, Murung Raya, Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia meninggal karena penyakit cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar (Komplek Makam Pangeran Antasari), Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh keturunannya Sultan Muhammad Seman dan cucunya Ratu Zaleha.
Pada 14 Maret 1862 menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antsari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah dan ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan.
Ia pernah meledakkan kapal milik Belanda yang bernama Kapal Onrust dan juga dengan pemimpin-pemimpinnya yang bernama Letnan der Velde dan Letnan Bangert. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.




Wajah Antasari pada Pecahan Rp 2.000
Posted by Feliks - 2009/06/11 16:50
_____________________________________
BANJARBARU, KOMPAS.com —
Kalimantan Selatan patut berbangga. Pahlawan nasional asal Banua, Pangeran Antasari, akan menjadi cover depan uang pecahan kertas baru Rp 2.000 yang akan diluncurkan Bank Indonesia (BI).
Hal itu diungkapkan Pemimpin Cabang BI Banjarmasin Bramudija Hadinoto pada pertemuan rutin Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah lingkup Pemprov Kalsel di Aula Dinas Kehutanan Kalsel, di Banjarbaru, Rabu (10/6). "BI akan meluncurkan uang pecahan kertas baru senilai Rp 2.000 dengan gambar depan Pangeran Antasari," ungkap Bramudija. Menurut dia, direncanakan uang baru itu akan di-launching secara khusus di Kalsel. Karena pahlawan nasional yang turut berjasa memerangi penjajah Belanda itu berasal dari Kalsel. "Kalau tak ada aral melintang, 6 Juli mendatang uang pecahan Rp 2.000 bergambar Pangeran Antasari kita luncurkan di Banjarmasin," katanya. Pemilihan Pangeran Antasari untuk gambar depan uang baru sudah melalui proses pertimbangan cukup lama. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan rupiah selalu menampilkan pahlawan nasional sebagai bentuk penghargaan. "Pangeran Antasari itu Pahlawan Nasional. Jadi, wajar jika kita berikan penghormatan seperti pahlawan lainnya yang dipasang di uang pecahan yang sekarang ini sudah beredar," cetus Bramudija. Saat ini, tambah dia, uang pecahan baru Rp 2.000 belum dicetak. Biasanya, proses pencetakan dilakukan saat mendekati launching. Jumlah yang dicetak belum dipastikan, tetapi yang pasti lebih dari Rp 1 miliar. "Untuk penyebaran perdananya nanti kita prioritaskan Kalsel agar warga di daerah ini bisa memilikinya," ujarnya. Pangeran Antasari adalah Pahlawan Nasional Indonesia. Dia meninggal karena penyakit cacar di pedalaman Sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar (Komplek Makam Pangeran Antasari), Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Pada 14 Maret 1862 menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.
Semasa mudanya dia bernama Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah, dan ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari pernah meledakkan kapal milik Belanda Onrust dan juga pemimpin-pemimpinnya yang bernama Letnan der Velde dan Letnan Bangert. Setelah wafat, perjuangan beliau dilanjutkan keturunannya, Sultan Muhammad Seman dan cucunya Ratu Zaleha.
Tarian Dayak
Forum Permata - PermataGBKP Online
Generated: 13 August, 2009, 09:50
Menurut Bramudija, untuk cover belakang uang pecahan baru yang akan diberi warna krem itu, juga akan memasang gambar tarian asal Provinsi Kalteng. "Gambar belakang tarian Dayak. Namanya sengaja dinamakan secara umum dengan tarian Dayak. Ini mengikuti saran Gubernur Teras Narang. Karena menurut pakar, tarian itu banyak sekali namanya, mulai giring-giring, tari panen sampai perang," ujarnya. Uang kertas pecahan Rp 2.000 diluncurkan dengan tujuan efisiensi dan efektivitas proses transaksi serta memudahkan masyarakat. Sumber.

Selasa, 11 Agustus 2009

Minggu, 09/08/2009 14:15 WIB
Panglima: TNI Ikut Bantu Operasi Teroris di Temanggung
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Aksi penyergapan terhadap teroris yang diduga Noordin M Top di Temanggung, Jawa Tengah ternyata juga melibatkan aparat dari TNI. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan peran TNI dalam penyergapan tersebut berada di ring dua.

"Di Temanggung kita dapat tugas bantu ring 2," ungkap Djoko Santoso di sela-sela HUT TNI ke-64 di Silang Monas Jakarta, Minggu (9/8/2009).

Sesaat setelah orang yang diduga Noordin M Top itu tertangkap dengan kondisi tewas, Djoko langsung menyampaikan selamat melalui SMS kepada Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

"Kemarin saya sudah kirim SMS ke Kapolri, semoga hasil baik ini bisa terus dilanjutkan. TNI senantiasa siap membantu langkah-langkah baik itu pendeteksian, pencegahan maupun penindakan," papar Djoko.

Terkait keterlibatan TNI dalam aksi penyergapan ini, menurut Djoko sudah diatur dalam UU. Selain itu kerjasama antara TNI dan Polri dalam memerangi terorisme juga sudah diatur dalam kesepakatan antara Kapolda dan Pangdam di masing-masing wilayah.

"Pelibatan sudah diatur sesuai UU. Lebih detail lagi dijabarkan antara Kapolda dan Pangdam, mereka buat kesepakatan-kesepakatan sendiri untuk atasi terorisme dan menghadapi tugas-tugas pengamanan yang dipegang tertib sipil karena keamanan jadi ujung tombak," papar mantan KSAD ini.

Terkait banyaknya aksi teror yang menyebar, Djoko menilai UU Keamanan Nasional (Kamnas) sangat diperlukan. "UU Kamnas jelas diperlukan. Sekarang dalam proses penyusunan. Kalau aturan pelibatan sudah ada dan kita latihan bulan Oktober. Kita akan adakan latihan bersama dengan Polri tentang antiteror, pengamanan VVIP dan sebagainya," pungkasnya.

(yid/iy)
Minggu, 09/08/2009 14:30 WIB
Pelaku Bom Marriott
Dani Pelaku Bom Bunuh Diri, Jamaah Masjid Prihatin
Arifin Asydhad - detikNews

Jakarta - Keterlibatan Dani Dwi Permana dalam kasus bom JW Marriott Jakarta membuat syok teman-temannya dan juga jamaah Masjid As-Surur, tempat dani beraktivitas selama ini. Mereka sedih sekaligus prihatin.

"Kita semua prihatin dan mari kita selalu mengamalkan perintah Allah dan Rasul dengan cara yang benar," kata Ketua DKM Masjid As-Surur, H Syuhailmaidi Syukur saat memberikan sambutan dalam acara 'Tarhib Ramadan' di Masjid As Surur, Gugus Candraloka, Perumahan Telaga Kahuripan, Kabupaten Bogor, Minggu (9/8/2009).

Dani Dwi Permana (18) memang selama ini aktif bergiat di masjid ini. Dia aktif di Ikatan Remaja Masjid, juga aktif di Karang Taruna Candraloka. Selama ini, Dani yang baru lulus SMA Juni 2009 lalu, dikenal sebagai anak yang baik, supel, dan suka membantu.

Meski dalam suasana prihatin, Syuhailmaidi mengajak semua jamaah untuk tetap bersemangat dalam bergiat dan menyambut Ramadan. Ada kalanya tiap orang khilaf. Karena itu, dia mengajak jamaah untuk sering datang ke masjid, sehingga bisa saling mengingatkan bila terjadi kekhilafan.

Sekretaris RW 10 Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Wachju, yang juga memberi sambutan dalam acara itu juga menyatakan keprihatinannya atas adanya keterlibatan Dani yang merupakan salah satu jamaah di masjid itu. "Karena itu, mari kita tingkatkan kewaspadaan, agar lingkungan kita aman," kata dia.

Keprihatinan mendalam juga terlihat pada para remaja yang aktif di remaja masjid. "Saya sangat kaget," kata salah seorang sahabat Dani, yang sering mengumandangkan azan di masjid bercat hijau itu.

Teman-teman Dani lainnya juga tampak syok. Bahkan, ada di antara mereka yang menangis saat mendengar berita bahwa Dani disebut Kapolri sebagai pelaku bom bunuh diri Marriott.

"Orangnya baik banget," ujar teman Dani lainnya, yang meminta tidak disebut namanya. Dia tidak bisa melupakan kebaikan Dani selama ini. "Dani pekerja keras dan suka menolong. Disuruh minta tolong apa pun dia mau," kata dia.

Sekretaris RW 10 Wachju juga memiliki penilaian yang sama. "Orangnya mau apa saja. Saya pernah minta tolong sebarkan surat undangan RW, dia dengan gesit melakukannya," ujar dia.

Di mata jamaah Masjid As Surur, Dani tidak punya tampang untuk berani melakukan peledakan bom. Karena itu, banyak di antara mereka menduga Dani sebagai korban dalam konspirasi besar komplotan terorisme.

"Saya kok lebih yakin, dia adalah korban, bisa saja dibohongi untuk melakukan sesuatu yang lain, padahal dia tidak mengetahui kalau itu bom," ujar salah seorang jamaah.

Dani merupakan sosok remaja yang inklusif. Memang, dalam lima bulan terakhir, dia sangat dekat dengan pria bernama Saifuddin Jaelani, seorang pendatang baru yang menjadi ustad di kompleks itu.

Saefudin datang ke perumahan Kahuripan satu tahun lalu dan telah menghilang sejak 3 bulan lalu. Saifuddin Jaelani inilah yang diduga pria berinisial SJ yang merupakan murid DR Azahari dan perekrut Dani.
(asy/yid)
Minggu, 09/08/2009 14:32 WIB
Malaysia Tunggu Kepastian Noordin M Top Tewas
Iin Yumiyanti - detikNews

Jakarta - Malaysia Tunggu Kepastian Noordin M Top Tewas

Apakah Noordin M Top tewas? Kepastian tentang tewasnya pimpinan teroris yang paling diburu ini kini ditunggu-tunggu, termasuk oleh kepolisian Malaysia.

Kepala Kepolisian Diraja Malaysia Tan Sri Musa Hassan mengatakan polisi Malaysia siap memberikan bantuan untuk Indonesia jika pria yang tewas dalam perburuan teroris di Temanggung, Jawa Tengah itu benar Noordin M Top yang adalah warga Malaysia.

"Saya tidak bisa mengkonfirmasi (apakah Noordin benar tewas). Saya belum mendapat jawaban balasan dari Indonesia," kata Musa.

"Meski demikian kita tetap terus berkomunikasi dan akan membantu termasuk dalam mengidentifikasi jenazah," kata Musa seperti dilansir Bernama.

Sejumlah kalangan meragukan Noordin M Top telah tewas dalam baku tembak dengan Densus di Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2009) kemarin. Keraguan antara lain dismapaikan pengamat intelijen Dinno Cressbon, Direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Jones dan Kepala Centre for Violence and Terrorism Singapura, Rohan Gunaratna.

"Saya kira kemungkinan besar itu bukan dia (Noordin). Bukannya saya yakin itu bukan dia, tetapi kemungkinan besar bukan," kata Sidney Jones saat dihubungi detikcom, Minggu (9/8/2009).

(iy/yid)
Minggu, 09/08/2009 14:59 WIB
Penggrebekan Teroris
PM Australia Sampaikan Terima Kasih ke Indonesia
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Densus 88 berhasil menangkap dan menewaskan beberapa anggota teroris di 2 tempat yang berbeda. PM Australia, Kevin Rudd, pun mengucapkan terima kasih atas tindakan pemerintah Indonesia dalam melacak jaringan teroris Noordin M Top.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia atas apa yang mereka lakukan selama ini," kata Rudd seperti dilansir dari ABC.net.au, Minggu (9/8/2009)

Seperti diberitakan, Densus 88 melakukan penyerbuan ke sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah. Polisi berhasil menewaskan satu orang yang diduga teroris.

Di Jatiasih, Bekasi, Densus 88 juga berhasil menangkap seseorang yang diduga teroris dan menggagalkan upaya pengeboman yang telah dipersiapkan.

Rudd mengaku tidak dapat menjelaskan apakah eksekusi tiga terpidana mati Bom Bali justru menjadi penyebab adanya ledakan bom di Jakarta. Ia juga enggan mengomentari apakah bom di Hotel Ritz-Carltons dan JW Marriott sebagai aksi balas dendam.

"Tentunya aksi teroris didorong oleh berbagai faktor. Kuncinya, kerja sama kami dengan Indonesia semakin kuat, komprehensif, dan setiap tindakan yang diambil bertanggung jawab untuk penanganan terois," jelasnya.
(mok/iy)
Minggu, 09/08/2009 15:40 WIB
Penangkapan Teroris
Mabes: Amir Abdillah Ditangkap di Jakut, Ahmad Fery masih Diburu
Chazizah Gusnita - detikNews

Jakarta - Penangkapan teroris di Jakarta Utara, muncul dua nama yang serupa tapi tak sama. Selain Suryana alias Yayan alias Gepeng (28), polisi menangkap Amir Abdillah atau Amir Ibrohim.

"Di Koja itu Amir Abdillah," ujar Kabid Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol I Ketut Untung Yoga Ana kepada detikcom, Minggu (9/8/2009).

Pernyataan Yoga berbeda dengan keterangan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) dan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono sebelumnya.

BHD, Sabtu (8/8/2009) pukul 05.00 WIB, menjelaskan yang ditangkap di Koja, Jakarta Utara adalah Amir Abdillah dalam penggerebekan di Jatiasih Bekasi. Amir diidentifikasi sebagai pemesan kamar 1808 di JW Marriott.

"Ditangkap di Jatiasih ini pelaku Amir Abdillah adalah yang memesan kamar 1808," kata BHD di lokasi penggerebekan, Perumahan Puri Nusapala, Blok D 12 RT 4 RW 12, Sabtu (8/8/2009).

Tak lama dari itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono menyatakan kalau Amir Ibrohim ditangkap di kawasan Jakarta Utara, Sabtu (8/8/2009).

Yoga menegaskan kalau yang ditangkap di Koja Jakarta Utara adalah Yayan dan Amir Abdillah. Sedangkan Ahmad Fery masih diburu polisi.

"Ahmad Fery yang ngontrakin rumah itu (Koja). Dia belum ditangkap masih diburu. Amir Abdillah tugasnya dia ngawasin rumah kontrakan itu," tegasnya.

Dalam jumpa pers di Mabes Polri tadi malam, BHD menyebutkan nama Ibrahim ditangkap pada 5 Agustus di Jakarta Utara.

"Kita tangkap Ibrahim di Jakarta Utara. Dia pengangguran tapi pernah kerja di Hotel Mulia dan direkrut oleh SJ atau AT yang masih jadi kejaran kita. Dia juga yang rekrut 2 pelaku bom," kata BHD.

Sejumlah media memberitahukan hal yang berbeda seperti Amir Abdillah dikatakan merupakan orang yang sama dengan Ahmad Fery yang sudah ditangkap pada Kamis (6/8/2009) di kawasan Semper Jakarta Utara.

(gus/iy)
Minggu, 09/08/2009 15:40 WIB
Noordin M Top Tewas?
PM Australia Akan Tanyakan Langsung ke SBY
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Identitas anggota teroris yang tewas di Temanggung, Jawa Tengah masih misterius. PM Australia, Kevin Rudd akan segera menghubungi Presiden SBY untuk menanyakan langsung identitas orang yang tewas.

"Masih tidak jelas siapa yang tewas dan siapa yang ditahan," kata Rudd seperti dikutip dari ABC.net.au, Minggu (9/8/2009).

Tidak ada informasi resmi soal identitas orang yang tewas di Temanggung. Semula orang tersebut disebut-sebut adalah Noordin M Top.

Kemudian foto yang diduga sebagai teroris yang tewas beredar di internet. Namun wajahnya sangat jauh berbeda dengan Noordin.

"Kita sedang menunggu konfirmasi lebih lanjut dari yang berwenang di Indonesia," jelas Rudd.

(mok/mok)
Minggu, 09/08/2009 15:45 WIB
Bom Marriott dan Ritz-Carlton
Kisah Masuk Lewat Jendela di Rumah Saifuddin Jaelani
Arifin Asydhad - detikNews

Kontrakan Saifudin Jaelani (Foto: Arifin A/detikcom)
Jakarta - Kisah masuk rumah lewat jendela, bukan lewat pintu, tidak hanya dilakukan Ahmad Ferry. Saifuddin Jaelani (SJ) juga pernah melakukan hal yang sama. Tamu yang diundangnya juga terpaksa masuk rumah lewat jendela.

Ahmad Ferry, tersangka kasus bom Marriott dan Ritz-Carlton, sering tepergok oleh tetangganya masuk lewat rumah melalui jendela saat tinggal di perumahan Puri Nusapala, Jatiasih, Bekasi. Warga sempat menanyakan hal itu, dan Ferry menjawab bahwa dirinya ketinggalan kunci.

Nah, suatu saat Saifuddin Jaelani juga pernah tepergok melakukan hal yang sama saat tinggal di RT 03 RW 10 Gugus Candraloka, Perumahan Telaga Kahuripan. Kisah ini sudah terjadi sekitar lima bulan lalu.

Salah seorang warga Candraloka bercerita kepada detikcom dirinya pernah diundang Saifuddin ke rumahnya. Warga yang tidak mau ditulis namanya ini mengaku diundang terkait bisnis obat herbal dan pengobatan bekam yang dijalani Saifuddin.

"Saat itu saya datang, dan saya dipersilakan masuk lewat jendela," kata dia saat berbincang-bincang dengan detikcom, Minggu (9/8/2009).

Saat itu, dia sempat bertanya kepada Saifuddin mengapa harus lewat jendela. Saifuddin menjawab dirinya kehilangan kunci. Karena saat itu tidak menaruh curiga apa pun terhadap Saifuddin, akhirnya dia pun masuk rumah lewat jendela.

Dan saat masuk, dia melihat Dani Dwi Permana, remaja yang disebut polisi sebagai pelaku bom bunuh diri di Marriott, ada di dalam rumah itu. Dalam pertemuan itu, Saifuddin memperlihatkan produk-produk herbal. Saifuddin juga memperlihatkan beberapa buku, termasuk buku soal Imam Samdura.

Saifuddin sempat juga menawarkan kepada dirinya belajar ilmu herbal ke Malaysia. "Dia menawarkan saya ke Malaysia, karena dia punya adik bernama Sahid yang punya klinik herbal di Malaysia," ujar dia.

Menurut dia, tidak ada hal mencurigakan sebenarnya dalam pertemuan saat itu. "Hanya saja saya sempat bertanya dalam hati tentang buku Imam Samudra saja. Saya tidak mencurigai sedikit pun karena Ustad Saifuddin orang yang supel, baik, dan bergaul juga dengan masyarakat di sini ," ujar dia.

Bila melihat kisah Ahmad Ferry dan Saifuddin tentang masuk rumah lewat jendela, mungkin ada sesuatu di balik itu. Apalagi, polisi menemukan bom jebakan di balik pintu di rumah kontrakan Ahmad Ferry dkk di Jatiasih itu.

Di kompleks Candraloka, Saifuddin dikenal sebagai ustad dan menjadi imam di Masjid As-Surur. Dia juga sering bergaul dengan remaja-remaja masjid dan sering berceramah. Saifuddin juga sering mengajak rihlah para remaja itu.

Kapolri sudah menyebut SJ sebagai buron polisi. SJ, menurut Kapolri, sebagai murid Dr Azahari dan perekrut Dani untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Informasi yang didapatkan detikcom, SJ tersebut memang Saifuddin Jaelani. Dia telah menghilang dari Perumahan Telaga Kahuripan sejak tiga bulan lalu.
(asy/iy)
Minggu, 09/08/2009 15:45 WIB
Bangun Rumah, Tukang Batu Temukan Granat Nanas Aktif
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Seorang tukang batu, Rahmat (30) yang sedang membuat pondasi rumah di atas tanah seluas lapangan bola voli tiba-tiba saja terkejut. Rahmat melihat ujung paculnya memantik benda keras. Rahmat pun curiga dan mendekati benda itu.

"Saya langsung hentikan pekerjaan, saya perhatikan mirip granat," ucap
Rahmat di lokasi kejadian, Jl Raya Veteran RT 1/1, Bintaro, Pesanggrahan,
Jaksel, Minggu (9/8/2009).

Tak mau gegabah, Rahmat meneruskan temuan ini ke Polsek Pesanggrahan. Setengah jam kemudian, tim gegana Polda Metro Jaya langsung mengamankan
granat aktif tersebut.

"Akan kita selidiki granat aktif ini. Kemungkinan peninggalan perang kemerdekaan," kata Kepala Tim I Gegana Polda Metro Jaya, Iptu Agus Dwi yang memimpin tim tersebut.

Usai diamankan, lokasi yang tadinya ramai dikerumuni warga kini mulai sepi.
Sementara pemilik tanah dan bangunan, Suci Indahsari tidak terlihat dilokasi.

(Ari/gus)
Minggu, 09/08/2009 16:15 WIB
TNI Waspadai Serangan Bom ke Cikeas
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - TNI akan meningkatkan pengamanan terhadap presiden dan wakil presiden. Hal itu dilakukan untuk merespons perkembangan dan menyesuaikan dengan ancaman yang ada.

"Itu otomatislah (pengamanan di kediaman SBY di Cikeas diperketat), tren situasi otomatis akan ada penyesuaian terhadap langkah-langkah pengamanan baik itu untuk VVIP maupun pengamanan pada umumnya. Isu bom Cikeas, ya kita waspada,"ungkap Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso di sela-sela perayaan HUT ke-64 TNI di Silang Monas, Jakarta, Minggu (9/8/2009).

Sayangnya Djoko menolak menjelaskan penambahan kekuatan pengamanan terhadap pihak-pihak yang memiliki pengamanan VVIP. Karena hal itu untuk menjaga strategi yang akan dijalankan."Saya tidak akan jelaskan (penambahan dan strategi), nanti orang tahu," paparnya.

Terkait peningkatan pengamanan dan deteksi, Djoko menjelaskan bahwa sistem deteksi dan pengintaian dilakukan melalui sistem komando teritorial (Koter). Namun, aparat TNI juga tetap merangkul masyarakat untuk mengantisipasi aksi-aksi serangan teror ini.

"Kita lakukan melalui satuan-satuan Koter, satuan intelijen. Untuk pencegahannya, kita lakukan bersama masyarakat seperti kita berikan pemahaman tentang ancaman teror dan bagamana menghadapinya," pungkasnya.

(yid/nrl)
Minggu, 09/08/2009 16:26 WIB
Penggerebekan di Jatiasih
Ayah Eko Peyang Tiba-tiba Pingsan
Amanda Ferdina - detikNews

Jakarta - Agus Purwanto benar-benar syok. Ayah Eko Joko Sarjono (Eko Peyang), tersangka teroris yang tertembak di Jatiasih, Bekasi itu tiba-tiba saja pingsan saat akan menuju Masjid Mabes Polri.

Ceritanya, sekitar pukul 15.40 WIB, Minggu (9/8/2009), Agus keluar dari Bareskrim Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Agus berjalan beriringan dengan Slamet Widodo, ayah Air Setiawan yang juga tewas tertembak di Bekasi, pengacara dan sejumlah kerabat.

Keluar dari gedung Bareskrim, wartawan langsung mencegat orang tua kedua tersangka teroris itu untuk wawancara. Pertanyaan wartawan hanya diladeni oleh pengacaranya, Endro Sudarsono. Endro memberi keterangan sekitar 15 menit.

Setelah memberikan keterangan, orang tua Air dan Eko itu menuju ke Masjid Mabes Polri. Wartawan tetap mengikuti orangtua yang tengah berduka itu dan mengambil foto mereka. Di tengah aksi wartawan mengambil foto tersebut, tiba-tiba saja Agus jatuh pingsan.

Sejumlah kerabat langsung menyokong tubuh Agus dan memapahnya agar bisa berjalan. Tidak dinyana, Agus jatuh pingsan lagi. Ia pun kemudian diberi minum air putih. Kepala ayah Eko itu juga disiram air.

"Ini kecapaian, soalnya dari tadi malam," kata salah satu kerabat. Agus dan Slamet telah tiba di Mabes Polri pada pukul 08.00 WIB untuk melihat jenazah Air dan Eko yang dilaporkan tewas tertembak di Jatiasih. Mereka berangkat dari Solo, Jawa Tengah pukul 17.30 WIB, Sabtu (8/8/2009).

Setelah agak segar, Agus dibawa ke mobil untuk istirahat. Mobil pun segera meninggalkan Mabes Polri. Mereka membatalkan salat di masjid Mabes Polri.

(iy/yid)
Minggu, 09/08/2009 16:44 WIB
Penggerebekan di Jatiasih
Warga Sering Temui Perilaku Aneh Penghuni Rumah D 12
Reza Yunanto - detikNews

Jakarta - Polisi menggerebek rumah teroris di Blok D 12, Perumahan Nusapala, Jatiasih, Bekasi. Bagi warga sekitar, perilaku penghuni di rumah tersebut memang berbeda dari biasanya.

"Saya pernah melihat orang di rumah D 12 itu keluar malam-malam pakai topi, tapi agak ditutupi hingga matanya, pakai kemeja, celana panjangnya agak sedikit digulung," kata Wilma yang kediamannya hanya berjarak 6 rumah dari D 12, Minggu (9/8/2009).

Wilma tidak dapat memastikan apakah itu memang Ahmad Fery, tersangka teroris yang telah ditangkap oleh Densus 88 atau bukan. Namun pria tersebut perawakannya sedikit gemuk serta jalannya tegak.

"Tapi kepalanya agak sedikit tertunduk," paparnya.

Beberapa hari sebelum penyerbuan, jelas Wilma, rumah tersebut didatangi oleh 2-3 pria. Mereka semua memakai topi dengan gaya yang sama.

Bagi Wilma, penghuni di rumah tersebut memang tidak terlalu dekat dengan warga sekitar. Mobil pick up yang berada di depan rumah tersebut juga tampak tertutup.

"Saya juga agak sedikit aneh, melihat mobil pick up di depan rumah selalu ditutup, plat nomornya ditutup kardus," ungkapnya.

(mok/iy)
Minggu, 09/08/2009 16:52 WIB
Panglima TNI Minta Publik Sabar Soal Siapa Teroris Temanggung
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso meminta masyarakat bersabar dalam menunggu informasi siapa sesunguhnya teroris di Temanggung yang tewas dalam penyergapan tim Densus 88. Djoko tidak mau menjawab pertanyaan wartawan mengenai siapa sesungguhnya pria tewas tersebut.

"Jadi itu Noordin atau bukan? Tunggu saja konfirmasi Polri. Kita semua di luar ring. Agar kita semua waspada dan mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman teror," kata Djoko Santoso di sela-sela HUT ke-64 TNI di Silang Monas, Jakarta, Minggu (9/8/2009).

Menurut Djoko, TNI selalu membuat analisa dan prediksi-prediksi sesuai dengan data-data yang ada di lapangan."Kita selalu buat analisa dan prediksi yang harus sesuai dengan data-data yang ada," jelasnya.

Terkait proses penangkapan yang memakan waktu sampai 18 jam, menurut Djoko hal itu mungkin disebabkan karena polisi ingin menangkap teroris yang diduga Noordin M Top itu dalam keadaan hidup.

"Mungkin karena polisi ingin Noordin hidup. (Penangkapan) sesuai kebutuhan, bisa sampai tiga hari juga bisa ditungguin," paparnya.

(Ari/yiMinggu, 09/08/2009 16:52 WIB
Panglima TNI Minta Publik Sabar Soal Siapa Teroris Temanggung
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso meminta masyarakat bersabar dalam menunggu informasi siapa sesunguhnya teroris di Temanggung yang tewas dalam penyergapan tim Densus 88. Djoko tidak mau menjawab pertanyaan wartawan mengenai siapa sesungguhnya pria tewas tersebut.

"Jadi itu Noordin atau bukan? Tunggu saja konfirmasi Polri. Kita semua di luar ring. Agar kita semua waspada dan mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman teror," kata Djoko Santoso di sela-sela HUT ke-64 TNI di Silang Monas, Jakarta, Minggu (9/8/2009).

Menurut Djoko, TNI selalu membuat analisa dan prediksi-prediksi sesuai dengan data-data yang ada di lapangan."Kita selalu buat analisa dan prediksi yang harus sesuai dengan data-data yang ada," jelasnya.

Terkait proses penangkapan yang memakan waktu sampai 18 jam, menurut Djoko hal itu mungkin disebabkan karena polisi ingin menangkap teroris yang diduga Noordin M Top itu dalam keadaan hidup.

"Mungkin karena polisi ingin Noordin hidup. (Penangkapan) sesuai kebutuhan, bisa sampai tiga hari juga bisa ditungguin," paparnya.

(Ari/yid)
Minggu, 09/08/2009 17:10 WIB
Belum Diizinkan Lihat Jenazah, Keluarga Air dan Eko Mengeluh
Elvan Dany Sutrisno - detikNews

Jakarta - Setelah menunggu berjam-jam, keluarga Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (Eko Peyang) masih belum diizinkan untuk melihat jenazah anak mereka. Prosedur yang cukup panjang di Mabes Polri membuat keluarga dan pengacara mengeluh kerepotan.

"Belum diizinkan dari Mabes untuk melihat jenazah. Belum diperbolehkan sama
forensik kata anggota Densus 88. Lama, kalau setengah jam lagi tidak
diberikan saya akan pulang dulu saja," ujar Pengacara Keluarga, Muhammad Kurniawan saat dihubungi wartawan, Minggu (9/8/2009).

Jenazah Air dan Eko diotopsi di RS Polri Soekanto Kramat Jati. Keluarga sejak pagi sudah meminta izin kepada Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji. Namun hingga kini keluarga masih menunggu di Mabes Polri.

Kurniawan yang juga merupakan kuasa hukum keluarga Arman (anak buah Azhari) yang tewas saat penangkapan Azhari tahun 2003 silam merasa prosedur izin Air dan Eko berbeda dengan Arman.

"Prosedurnya dulu waktu saya ambil Arman (anak buah Azhari), saya kesini
ditemui Satgas Pom piket. Setelah itu diberikan surat untuk ke RS. Setelah
itu ke Mabes. Disana disiapkan petinya baru boleh dibawa pulang," ujarnya.

Kurniawan menjelaskan bahwa keluarga menginginkan jenazah Air dan Eko bisa segera dibawa pulang. Sehingga bisa langsung dimakamkan.

"Ini maksudnya keluarga mau ambil sekalian kalau cocok. Ini disuruh nunggu
sebentar. Makanya saya tunggu di bawah. Kalau kelamaan saya tinggal saja,"
pungkasnya kesal.

(vanMinggu, 09/08/2009 17:11 WIB
Noordin M Top Tewas?
Foto Beredar dan Teroris Tewas di Temanggung Hanya Mirip di Kalung
Moksa Hutasoit - detikNews

Jakarta - Mabes Polri memang belum mengeluarkan pernyataan apa pun mengenai identitas teroris yang tewas di Temanggung, Jawa Tengah. Namun foto yang diduga sebagai teroris tersebut telah beredar.

Dalam foto yang juga didapat detikcom, tampak seorang pria tewas dengan kepala terbelah mulai dari hidung ke atas. Sedangkan hidung ke bawah masih menyatu. Mata pria yang berambut ikal itu pun terbelalak.

Pria naas tersebut mengenakan kaos oblong berwarna coklat, sementara di lehernya terdapat kalung berwarna hitam.

Uniknya, pria tersebut memiliki wajah lonjong dengan struktur rahang yang tegas. Tidak seperti wajah Noordin yang bulat, sebagaimana sketsa disebarkan pihak kepolisian.

Bagi pengamat intelijen, Dynno Chressbon, foto tersebut bukanlah teroris yang tewas di Temanggung. Dynno yang mengaku telah melihat foto asli itu pun menerangkan perbedaan antara foto yang ia lihat dengan yang beredar.

"Yang saya lihat, foto ini (beredar di wartawan dan sejumlah kalangan) terlihat wajahnya seperti dibacok orang dan tidak pernah saya lihat sebelumnya. Wajah di foto itu terlalu horor," paparnya lewat pesan pendek yang diterima detikcom, Minggu (9/8/2009),

Lantas, foto siapa itu? "Kemiripannya cuma sama-sama pakai kalung di leher," pungkasnya.

(mok/iy)
Minggu, 09/08/2009 17:30 WIB
TNI Minta Masyarakat Proaktif Perangi Terorisme
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Massifnya ancaman teror di Indonesia akhir-akhir ini meminta semua pihak harus waspada. Pangdam Jaya Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro meminta semua pihak termasuk masyarakat dan pemda untuk bersama-sama proaktif memerangi terorisme.

"Semakin orang mengatakan kondusif, kita aparat harus semakin waspada. Kedua untuk masalah keamanan bukan semata-mata tanggung jawab aparat keamanan. Tapi juga masyarakat luas, apakah TNI, Polri, pemda dan masyarakat harus bersama-sama," kata Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro.

Menurut Darpito, semua pihak harus bergandeng tangan untuk bersama-sama memerangi terorisme yang marak akhir-akir ini di Indonesia. Tanpa kebersamaan itu, pasti perang terhadap terorisme akan menghadapi kendala meskipun TNI juga sudah memiliki kewenangan untuk memerangi terorisme.

"Kita harus memeranginya dengan bergandeng tangan. Peran TNI kan kalian tahu, kita bukan hanya perang tapi untuk penanganan teroris," paparnya.

Terkait koordinasi teknis yang sudah dilakukan TNI, menurut Darpito hal itu sudah dilakukan. TNI selama ini sudah melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian dalam hal penanganan dan pencegahan aksi-aksi terorisme.

"Tentara itu harus tetap berlatih. Dalam kondisi apapun harus selalu siaga. Tidak ada mati suri. Kita tetap dan pelaksanaannnya kita back up. Kita bantu Polri sesuai dengan UU. Saya dengan Polda menjalin kerjasama yang baik sampai Babinsa," paparnya.

"Yang jelas kalau kita punya info, tidak kita simpan sendiri. Kita juga share ke Polri. Sebaliknya juga dengan Polda, kita juga hidupkan Kominda, kita aktifkan lagi," pungkasnya.

(yid/iy)
Minggu, 09/08/2009 17:30 WIB
TNI Minta Masyarakat Proaktif Perangi Terorisme
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Massifnya ancaman teror di Indonesia akhir-akhir ini meminta semua pihak harus waspada. Pangdam Jaya Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro meminta semua pihak termasuk masyarakat dan pemda untuk bersama-sama proaktif memerangi terorisme.

"Semakin orang mengatakan kondusif, kita aparat harus semakin waspada. Kedua untuk masalah keamanan bukan semata-mata tanggung jawab aparat keamanan. Tapi juga masyarakat luas, apakah TNI, Polri, pemda dan masyarakat harus bersama-sama," kata Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro.

Menurut Darpito, semua pihak harus bergandeng tangan untuk bersama-sama memerangi terorisme yang marak akhir-akir ini di Indonesia. Tanpa kebersamaan itu, pasti perang terhadap terorisme akan menghadapi kendala meskipun TNI juga sudah memiliki kewenangan untuk memerangi terorisme.

"Kita harus memeranginya dengan bergandeng tangan. Peran TNI kan kalian tahu, kita bukan hanya perang tapi untuk penanganan teroris," paparnya.

Terkait koordinasi teknis yang sudah dilakukan TNI, menurut Darpito hal itu sudah dilakukan. TNI selama ini sudah melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian dalam hal penanganan dan pencegahan aksi-aksi terorisme.

"Tentara itu harus tetap berlatih. Dalam kondisi apapun harus selalu siaga. Tidak ada mati suri. Kita tetap dan pelaksanaannnya kita back up. Kita bantu Polri sesuai dengan UU. Saya dengan Polda menjalin kerjasama yang baik sampai Babinsa," paparnya.

"Yang jelas kalau kita punya info, tidak kita simpan sendiri. Kita juga share ke Polri. Sebaliknya juga dengan Polda, kita juga hidupkan Kominda, kita aktifkan lagi," pungkasnya.

(yid/iy)
Minggu, 09/08/2009 17:42 WIB
Penggerebekan di Temanggung
Noordin Tak Mungkin Pilih Temanggung Sebagai Tempat Persembunyian
Elvan Dany Sutrisno - detikNews

Jakarta - Pengamat intelijen menilai tidak mungkin teroris sekelas Noordin M Top memilih tempat persembunyian di Temanggung, Jawa Tengah. Posisi persembunyian yang terpencil justru akan membuat Noordin terkunci.

"Tidak mungkin sekali Noordin mencari lokasi seperti Temanggung, " ujar Dinno Cressbon saat dihubungi wartawan melalui telepon, Minggu (9/8/2009).

Dinno melihat selama ini Noordin selalu memilih tempat persembunyian yang aman. Alhasil, Noordin bisa licin dan selalu terhindar dari sergapan polisi.

"Analisa saya meragukan bahwa orang tersebut Noordin M Top,"

"Lokasi persembunyiannya dikelilingi bukit yang sulit untuk kabur berbeda dengan 9 lokasi sebelumnya yang dekat akses jalan dan laut," beber Dino.

Mengenai kesaksian orang yang mengaku sebagai Noordin sebelum tewas disergap, menurut Dinno kurang jelas sebagai bukti.

"Kesaksian orang itu adalah bernama Noordin itu tidak cukup," tegasnya.

(van/mok)
Minggu, 09/08/2009 17:55 WIB
Penggerebekan di Jatiasih
Keluarga Air & Eko Tunggu Izin Lihat Jenazah Hingga Senin
Amanda Ferdina - detikNews

Agus menutupi mukanya (Foto: Amanda/detikcom)
Jakarta - Keluarga Eko Joko Sarjono (Eko Peyang) dan Air Setiawan belum mendapatkan izin untuk melihat jenazah 2 pria yang diduga teroris yang tewas dalam penggerebekan di Jatiasih, Bekasi tersebut. Keluarga akan menunggu keluarnya izin tersebut.

"Kita akan menunggu, maksimal besok (Senin, 10 Agustus 2009)," kata pengacara keluarga Air dan Eko, Endro Sudarsono usai mendampingi orangtua Eko dan Air memimta izin di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Minggu (8/8/2009).

Endro menjelaskan, ia mendapatkan kabar tidak mendapatkan izin untuk melihat jenazah Air dan Eko sekitar pukul 13.30 WIB. Kepolisian menyampaikan dokter forensik belum memberi izin.

Belum didapatnya izin ini, bagi Endro menambah duka keluarga. Keluarga ingin segera memakamkan jenazah bila 2 orang yang tewas itu benar Eko dan Air sebab ajaran Islam jenazah harus secepatnya dimakamkan.

"Kalau sudah pasti dan ini dibuat menjadi tidak pasti. Dulu yang penyebutan N saja sudah keliru dan ini sebenarnya dari Kapolri sudah sebut Eko dan Air, tapi ini menjadi tidak pasti," keluh Endro.

Keluarga hingga kini belum ditunjukkan foto jenazah Air dan Eko. Di Mabes Polri, orang tua menunjukkan ijazah dan difoto.

(iy/mok)

Minggu, 09/08/2009 17:55 WIB
Penggerebekan Jatiasih
Dilarang Lihat Jenazah, Keluarga Air & Eko Diminta Temui Densus 88
Amanda Ferdina - detikNews

dok detikcom
Jakarta - Pihak kepolisian belum mengizinkan keluarga Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (Eko Peyang) untuk melihat jenazah. Hal ini dilakukan karena jenazah masih diidentifikasi dan keluarga perlu dimintai data.

"Karena kita belum selesai mengidentifikasi, makanya disuruh menghadap ke Densus 88," kata Kapusdokes Polri Brigjen Edi Saparwoso saat dihubungi wartawan, Minggu (9/8/2009).

Menurut Edi, keluarga akan dimintai keterangan oleh pihak Densus soal identitas masing-masing. Setelah itu, data akan dicocokkan dengan jenazah.

"Prosesnya dicocokkan data dia sebelum meninggal dan sesudah meninggal dengan orang yang melapor," jelasnya.

Selain itu, kata Edi, jenazah juga perlu dihormati layaknya semasa hidup. "Ini adalah prosedur umum, ketentuan interpol," tegasnya.

Sebelumnya, keluarga Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (Eko Peyang) dan pengacaranya mendatangi Mabes Polri. Sambil membawa ijazah, keluarga ingin mengecek secara fisik kondisi 2 tersangka teroris yang tertembak di Jatiasih, Bekasi itu. Namun pihak kepolisian belum bisa mengizinkan hal tersebut.
(mad/iy)
Minggu, 09/08/2009 19:09 WIB
Belum Ada Keluarga Identifikasi Jenazah Teroris ke RS Polri
Elvan Dany Sutrisno - detikNews

Jakarta - Tiga jenazah tersangka teroris yang tewas oleh Densus 88 masih berada di RS Polri Sukanto, Jakarta Timur. Hingga pukul 19.00 WIB, tidak ada aktivitas penting yang terjadi di tempat ini.

Pantauan detikcom, di hari pertama pascapenggerebekan, Minggu (9/8/2009) tidak ada keluarga atau kerabat yang datang ke RS ini. Padahal kehadiran mereka menentukan hasil tes DNA.

Terlebih lagi untuk satu jenazah dari Temanggung, Jawa Tengah. Orang tersebut disebut-sebut adalah gembong teroris nomor wahid, Noordin M Top.

Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri yang direncanakan akan datang ke RS pukul 13.00 WIB juga dipastikan batal hadir. Tidak ada tanda-tanda kedatangan mantan Kapolda Sumut tersebut.

Yang tertinggal hanya segelintiran polisi yang masih berjaga-jaga.
(mok/iy)
Minggu, 09/08/2009 19:54 WIB
Mayat Teroris itu Ibrohim Bukan Noordin Top?
Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Sejumlah pihak meragukan jenazah yang tewas di Temanggung adalah Noordin M Top. Jika argumen ini benar, lalu siapakah pemuda yang kabarnya tewas mengenaskan tersebut. Mungkinkah ia adalah Ibrohim?

Pihak pertama yang meragukan kematian Noordin adalah pengamat intelijen Dynno Chressbon. Ia yang mengaku sudah melihat foto asli jenazah itu mengatakan, teroris tidak mirip sama sekali dengan Noordin. Kemiripan jenazah dengan foto yang beredar hanya dari kalung yang dipakai saja.

"Lebih mirip preman pasar daripada Noordin M Top," cetus Dynno.

Senada dengan Dynno, kepala Centre for Violence and Terrorism Singapura, Rohan Gunaratna, bahkan berani menyatakan jenazah tersebut bukanlah Noordin M Top. Ia mengaku mengutip dari sumber yang ikut dalam proses investigasi.

"Dia (Noordin) belum tewas, sesungguhnya tes DNA membuktikan bahwa jasad yang ditemukan bukan Noordin Mohammed Top," kata Rohan seperti dilansir Aljazeera.net.

Sikap pesimis juga datang dari Direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Jones. Ia menduga kemungkinan besar jenazah itu bukan Noordin.

"Saya kira kemungkinan besar itu bukan dia (Noordin). Bukannya saya yakin itu bukan dia, tetapi kemungkinan besar bukan," kata Sidney Jones saat dihubungi detikcom, Minggu (9/8/2009).

Setelah adanya berbagai keraguan tersebut, muncul kabar bahwa pria yang tewas di Temanggung adalah Ibrohim, florist di flower shop di Ritz-Carlton. Keberadaan Ibrohim pun saat ini masih gelap. Jika foto jenazah yang beredar di internet benar, maka secara fisik bentuk muka Ibrohim lebih mirip.

Ketika dikonfirmasi, Wakadiv Humas Mabes Polri Sulistyo Ishak tidak bisa memastikan hal ini. Pihaknya masih menunggu hasil tes DNA yang dilakukan penyidik dari Densus 88.

"Kita tidak bisa berbicara kemungkinan dan berandai-andai, semuanya masih menunggu hasil tes DNA," ucapnya saat dihubungi lewat telepon. (mad/did)

Minggu, 09/08/2009 21:05 WIB
SBY Target Pengeboman
Jaringan Noordin M Top Semakin Menguat
Didi Syafirdi - detikNews

Jakarta - Ratusan kilogram bahan peledek yang ditemukan di Perumahan Puri Nusa Phala di Jatiasih, Bekasi ditujukan untuk menyerang kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Istana Negara. Ini menunjukkan jaringan teroris Noordin M Top semakin menguat.

"Menunjukan jaringan Noordin M Tob semakin percaya diri dan menguat, bisa jadikan presiden sebagai target," ujar Pengamat intelijen UI Andi Widjajanto saat dihubungi detikcom, Minggu (9/8/2009).

Rencana pengeboman yang akan dilakukan 2 pekan setelah 1 Agustus, menurut Andi mengindikasikan kalau jaringan Noordin semakin menguat. Dalam hitungan satu bulan setelah bom di Hotel Ritz Charlton dan JW Marriot mereka sudah merencanakan pengeboman lagi.

"Kita harus cemas, dalam satu bulan ada serangan lagi," kata Andi.

Menurut Andi, serangan dalam tempo satu bulan memang tidak lazim dilakukan oleh teroris, biasanya setelah melakukan serangan mereka masih harus memikirkan pelarian. Dalam waktu lama baru akan muncul lagi merencanakan serangan berikutnya.

"Ini mengindikasikan jejaringan dan penetrasi teroris semakin menguat," tandasnya.

(did/mad)