Senin, 06 Juli 2009

SBY Sebagai Atasan, Sahabat, dan Mentor (1)

Oleh : Dr. Dino Patti Djalal
Alan Greenspan, setelah berhenti menjadi Chairman of the Federal Reservers, pernah ditanya apakah dia tidak pernah merasa jenuh bekerja dalam tugas yang penuh tekanan selama bertahun-tahun. Jawab Greenspan: "There is not a single day that I come into work without feeling thrilled to be part of hostory."
Sebagai Staf khusus Presiden, saya mengerti sekali apa yang dimaksud Alan Greenspan. Bagi seorang political scientist seperti saya, tidak ada yang melebihi adrenalin pengabdian di pusat kekuasaan negara. Setiap hari, saya menyaksikan dan merasakan jam sejarah berputar.
Dari manapun anda datang, Indonesia akan tampak sangat beda kalau dilihat dari Istana: lebih ebsar, lebih rumit, lebih membingungkan. Wimar Witoelar benar sekali dengan pengakuannya bahwa ia sama sekali tidak pernah merasa menyesal -- "No Regret", judul bukunya--dalam mengabdi kepada Presiden Abdurrahman Wahid di puncak kekuasaan. Yang ada hanyalah kehormatan, dicampur kecemasan apakah telah memberikan yang terbaik kalau tiba masanya meninggalkan Istana.
Saya pertama kali bekerja sama dengan SBY sewaktu beliau mengunjungi Washington DC tahun 2000. Waktu itu beliau adalah Menko Polsoskam, dan saya Kepala Bidang Politik di KBRI Washington DC. Misi SBY waktu itu adalah untuk bertemu dengan Menlu AS Madeleine Albright, yang terkenal galak dan waktu itu sangat keras pada Indonesia karena peristiwa pembunuhan terhadap seorang warga Puerto Rico yang sedang bekerja untuk PBB di Atambua. Tugas saya adalah membantu menyiapkan talking points SBY. Sewaktu membahas talking points itu, salah satu senior saya mengkritik butir wicara yang saya susun. Namun SBY tetao bersikeras mempertahankan masukan saya. Waktu itulah, saya mulai berasa bahwa saya klop--satu frekuensi--dengan SBY. SBY memperhitungkan suasana bathin pertemuan tersebut, dan ini mau tidak mau mempengaruhi nada dari pesan yang akan disampaikan. Kenyataannya, pertemuan SBY-Madelein Albright berjalan tegang--begitu tegangnya sampai dua-duanya tidak ada yang sempat tersenyum. Namun misi yang diemban SBY tercapai. Sebagaimana di depan Dewan Keamanan PBB, di New York yang sangat kritis terhadap Indonesia, SBY dengan "form" menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya yang terjadi Atambua tersebut, sementara DK Keamanan PBB termasuk Menlu AS memiliki persepsi dan informasi yang berbeda. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar