Kamis, 16 Juli 2009

Hadar N Gumay : Miris Melihat Sistem Pemilu Kita

Selasa, 18 November 2008 - 17:05 wib
Hadar N Gumay: Miris Melihat Sistem Pemilu Kita
Ahmad Dani - Okezone
KETIKA Jenderal Soeharto kembali terpilih menjadi presiden dalam Pemilu 1998, spontan beberapa kalangan akademisi kampus merespons negatif. Lonceng bahaya pun dibunyikan!Tak tinggal diam, sejumlah mahasiswa dan beberapa kalangan akademisi kampus, seperti dosen dan lainnya merasa tergerak untuk menggulirkan aksi demonstrasi, guna mengubah pemerintahan yang cenderung menjadi 'diktator'.Universitas Indonesia (UI) --salah satunya-- turun ke jalan. Mereka juga mendapatkan dukungan dari dosen dan akademisi kampus lainnya.Setting peristiwa itulah yang kemudian membuat Hadar N Gumay--yang saat itu masih menjabat sebagai dosen Sosiologi di FISIP UI-- untuk terus mencermati perkembangan politik Indonesia."Saya melihat pada saat itu mahasiswa frustasi atau mungkin kecewa. Sehingga saya dan beberapa dosen di kampus merasa tergerak untuk membantu mahasiswa turun ke jalan untuk mengganti pemerintah," ujar Hadar mencoba mengkaleidoskop settingan sejarah yang membuat dirinya hingga kini bergelut dalam dunia politik.Ya, tepat satu tahun kemudian, Hadar menjadi salah satu pendiri lembaga pemantau pemilu independen pertama di Indonesia, dalam pemilu pertama di era setelah kejatuhan rezim Soeharto. Lembaga itu kemudian dinamai Unfrel (University Network for Free and Fair Election).Menurut Hadar, melalui pemilu-lah, gerbang awal untuk menata sistem pemerintahan di Indonesia yang bagus. Karena sistem pemilu yang baik, kemungkinan besar akan melahirkan calon pemimpin yang baik pula."Kita bisa memberikan masukan. Meski tidak cepat, tapi ada rasa kepuasan ketika masukan kita di kemudian hari digunakan. Salah satunya pemilihan presiden langsung," sebut Hadar mencontohkan 'kebaikan' yang sudah dilakukan Cetro, lembaga pemantau pemilu yang digelutinya saat ini.Tapi siapa yang sangka, jauh sebelum Hadar berkecimpung di dalam dunia politik (terutama menjadi pengamat pemilu), Hadar tidak pernah bercita-cita untuk terjun di dunia yang katanya ilmu menggapai kekuasaan itu."Waktu saya kecil saya senang sekali dengan pesawat dan pergi ke luar negeri. Jadi saya menganggap itu bisa didapat dengan saya menjadi pilot. Selain itu juga terlihat gagah," tutur Hadar mencoba mengingat masa lalunya.Namun, Hadar muda yang diisi dengan penuh prestasi, menjadikan dia sebagai salah satu murid peserta pertukaran pelajar dengan Amerika Serikat. Nah, di AS juga-lah yang mengubah cita-cita Hadar menjadi seorang pilot. Di sana, Hadar secara spontan tertarik menggeluti dunia sosial."Selama di Amerika saya tinggal dengan sebuah keluarga asli Amerika. Dengan begitu saya harus hidup bersama keluarga yang bahasa, budaya, dan aktivitasnya berbeda dengan apa yang saya lakukan sehari-hari. Dengan begitu saya belajar untuk bisa memahami.""Dari situlah kemudian saya tertarik untuk mempelajari perbedaan terutama soal kemasyarakatan yang berbeda-beda. Dan itu saya terapkan dalam prinsip hidup saya sehari-hari," tambah Hadar.Ayah dari Rana Hadar dan Rasika Hadar ini pun tetap optimistis dengan dunia politik di Indonesia. Tapi kemudian, Hadar menyoroti dua persoalan penting dalam sistem politik Indonesia yang memang dirasakan harus berubah.Pertama, saat ini di Indonesia masih dipenuhi politisi yang belum matang. Ini dikarenakan, para politisi itu tidak digembleng sebagai kader partai yang baik. "Itu makanya banyak politisi yang beranggapan menjadi politikus adalah mencari nafkah, tapi bukan bekerja untuk rakyat," kritik Hadar.Kedua, lanjut Hadar, yang paling penting adalah bagaimana mendidik masyarakat untuk sadar politik, paham hak dan kewajiban dan siap terlibat di dalam sistem pemilihan. "Itu yang harus digalakkan," ungkap Hadar serius.Meski tidak menjadi seorang pilot dalam arti sesungguhnya, setidaknya apa yang sudah dilakukan Hadar dan Cetro-nya bisa dianggap sebagai 'pilot' untuk mengubah sistem pemilihan yang jauh lebih baik lagi. Semoga..... (ahm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar