Selasa, 23 Juni 2009

SURAT MEREKA ADALAH SERTIFIKAT

Oleh : Sri Hartini
Menjadi Tidak Pribadi
KUMPULAN surat itu hampir dibuang ke dalam tong sampah tanpa guna. Sudah hampir tiga bulan lebih tersimpan di atas tumpukan map yang ada di meja kerja. Beberapa pucuk surat terserak lepas dari tumpukannya. Satu surat lagi sudah dipakai alas makanan ringan berminyak. Jelas benar bekasnya dan membuat tulisan pinsilnya kabur hampir tak terbaca. Surat-surat itu memang telah kubacai sepintas lalu.
Entah karena libur panjang dan banyak waktu luang yang tidak lagi dibikin repot urusan sehari-hari karena beban mengajar, ketika memberesi tumpukan map dan kertas-kertas bekas, surat-surat itu mendorongku dibaca ulang. Awalnya secara tak sengaja aku membaca kembali salah satu surat yang ditulis dan dikirimkan salah seorang murid padaku. Setelah aku sempurnakan struktur dan bahasa dari surat itu jadi beginilah bunyinya : Surat dari hatiku untuk guruku. Kebaikan Bu Sri adalah kalau aku menyelesaikan tugas/mengisi SKPM, Ibu Sri memberiku nilai A/a-. Terimakasih, Bu Sri. Aku do'akan supaya Bu Sri mendapatkan banyak pahala dari Allah SWT. Amien... Dan menjadi orang kaya. Aku juga mendo'akan mudah-mudahan Bu Sri awet muda, tidak cepat tua. I love you, Bu Sri Hartini.!
Meski surat itu tanpa nama pembuat dan pengirimnya, bukan berarti surat kaleng. Dan itu satu dari 34 pucuk surat. Surat-surat itu dibuat oleh anak-anak Kelas III.C, dimana aku sebagai Walikelasnya selama 1 tahun (2008-2009). Akulah yang memintanya agar mereka mau menulis tentang diriku. Bebas! Boleh memuji dan boleh juga mengkritik. Agar mereka lebih leluasa menumpahkan apa yang ada dipikirannya tentang diriku, aku memintanya untuk tidak menuliskan nama pembuatnya. Termasuk merubah model tulisannya. Ini semata-mata agar mereka tidak terbebani bila memang harus mengkritik gurunya. Itulah caraku, bagaimana melihat diriku sendiri, baik itu dari sisi kepribadian maupun keilmuan. Aku yakin melalui orang lain suatu kelemahan atau kekurangan bisa dilihat.
Syukurlah, melalui sebuah pertimbangan tersendiri, aku merasa perlu untuk memberikan jawaban atas surat-surat itu meskipun hanya dibahas secara umum dalam bentuk tulisan ini. Dan hanya inilah suatu kemungkinan yang dapat aku lakukan. Tidak satu-satu aku membahasnya, meskipun aku tahu bahwa surat memang hak milik pribadiku sebagai gurunya yang menerima, membaca dan menyimpannya. Namun setelah aku bacainya kembali surat-surat itu, penuh penghayatan dan perenungan, sekaligus pertimbangan akan isi serta makna dari apa yang tertulis di dalamnya, mau tidak mau aku melepaskan hak pribadi itu. Isinya patut diketahui, minimal para guru seprofesiku perlu membacanya. Apa yang murid-muridku tulis dan sampaikan padaku mudah-mudahan mewakili pikiran dan aspirasi sebagian besar murid yang ada di sekolah tempat mereka menimba ilmu.
Sebagai Ingatan Masa Lalu
Hak jawab yang aku tulis sekarang ini belum bisa murid-murid fahami termasuk memaknai isinya. Perlu beberapa tahun ke depan untuk bisa mencernanya. Kata orang dalam usia dan pengetahuan murid Kelas IV Sekolah Dasar pikirannya masih cetek. Andaikata di antara mereka ada yang menyempatkan membacanya, tidak lebih cuma membaca itu saja. Biarlah secetek apapun nalar mereka saat ini, buatku tidak terlalu soal, yang pasti tulisan ini harus kutulis ketika suasana bathin masih sejaman. Apa yang aku tumpahkan dalam tulisan ini tak akan juga dikirim kepada mereka yang memang berhak membaca dan menerimannya. Paling tidak tulisan ini dipakir abadi dan terbuka di dalam blog yang bisa diakses oleh siapapun yang sudi membacanya.
Mereka yang telah menulis dan mengirimkan surat kepadaku kelak, setelah mereka kuliah atau menjadi orang yang sukses di tenagh masyarakat akan mengenangnya. Kenangan mereka pada guru dan teman-temannya saat seusia dan sejamannya. Tulisan mereka secara keilmuan (paleografi, maaf jika aku salah memberi istilah) akan menjadi bahan tertawaan dirinya sendiri. Belum lagi isinya, isi surat yang mereka ungkapkan pada gurunya. Pujian, kejengkelan dan saran terpahat sudah. Mungkin saja semua itu akan menjadi kebanggaan diri dan bahan gunjingan ketika antar mereka melakukan reuni.
Surat-surat itu sendiri bagiku maupun mereka kelak atau beberapa tahun kemudian, tidak akan pernah lagi ingat pada surat yang tulisnya. Mungkin cuma mereka-reka, andaikata masih ada yang ingat, paling bantar tidak lebih dari sepuluh. Surat itu ditulis dan dikirimkan tanpa nama dan tanggal pembuatannya. Yang pasti surat itu bukan surat kaleng, surat-surat itu dibuat murid-muridku Kelas III.C Sekolah Dasar dimana aku sebagai Walikelasnya. Kelak surat itu akan dijadikan ingatan masa lalu, masa-masa dimana mereka masih anak-anak, masih Sekolah Dasar. Sudah tentu surat-surat itu telah menjadi prasasti dalam sejarah hidupnya.
Sebuah Kepolosan dan Kejujuran
Dari sisi pengungkapan, sebagai gurunya aku bangga. Tulisan dalam surat-surat dibuat begitu polos, tanpa rekayasa atau dibuat-buat untuk sekedar menyenangkan hati seorang gurunya. Yang lebih aku banggakan dari anak-anak, betapapun polosnya mereka bersurat, setiap kritikan yang disampaikan dalam tulisan surat selalu diawali oleh kata-kata yang amat sopan.
Betapa berbudi-pekertinya mereka, padahal awal aku meminta murid-murid membuat dan berkirim surat tanpa nama pembuat yang ditujukan kepadaku sendiri, lebih dari untuk mengetahui sejauhmana kemampuan daya pikir murid bisa menghargai gurunya. Alhamdulillah! Mereka mampu menyampaikan pemikirannya dengan polos, lugas, baik dan runut. Bagiku ini merupakan prestasi tersendiri sebagai pendidik. Juga peran orangtuanya. Suatu kerjasama yang mulia dan menyenangkan dalam mendidik anak-anak selama 1 tahun. Menjadikan seorang anak yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Seorang anak didikku menyampaikan kritikannya melalui tulisan diawali kata maaf berulang-ulang sebelum mengkritik gurunya. "Ibu Sri cerewet, bawel dan suka marah-marah," tulisnya. Secara utuh beginilah bunyi tulisan surat itu :
(Maaf, artikel ini sedang dalam edit dan finishing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar