Minggu, 21 Juni 2009

A.M. FATWA, Wakil Ketua MPR RI Dianugerahi Gelar Doktor

Rabu, 17 Juni 2009
(Keterangan Foto : Ki-Ka, Suherman (Ketua Yayasan), A. Karim. DP (Mantan Ketua PWI), A.M. Fatwa (Wakil Ketua MPR RI), Andi Mursalim Daeng Mamanggung (Salah Satu Pendiri Golkar). Lokasi Statsiun Kereta Api Kebon Kawung Bandung. Kami saat itu naik Parahiyangan dalam rangka menghadiri Peringatan 40 hari wafatnya H. Mahbub Djunaidi.
A.M. FATWA, Wakil Ketua MPR RI mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di bidang Pendidikan Luar Sekolah Selasa (16/6) kemarin. Fatwa, menurut promoter Prof Dr Hafid Abas, dinilai tepat mendapatkan gelar itu karena aktivitasnya selama ini. Dalam pidato yang cukup panjang, A.M Fatwa sempat mengkritik perilaku elite politik yang tak mencerminkan kenegarawanan. Ia berharap peta perpolitikan masa kini segera diubah.�Persepsi bahwa politik itu ranah kotor, kejam, penuh intrik, dan tak ada perjuangan selain untuk kekuasaan, harus segera diakhiri melalui keteladanan kalangan elite politik serta kehendak semua masyarakat,� katanya dalam acara yang juga dihadiri Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla dan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Mahfud MD.Tanpa itu, kata Fatwa, agenda kenegaraan akan stagnan karena masing-masing sibuk mengejar kepentingan individu dan kelompoknya saja.�Cara-cara distortif tersebut masih terlihat sampai saat ini ketika para elite politik lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan dirinya sendiri dengan berlindung atas nama rakyat,� katanya. Para elite politik sibuk mengejar kepentingan kelompok bahkan personal dengan menggunakan cara-cara yang jauh dari kehendak rakyat.Menurut Fatwa, perilaku elite politik semacam ini harus segera diakhiri dan mengacu pada sikap politik yang beretika dan mengedepankan kepentingan rakyat.Sedang Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutan singkatnya sangat menghargai upaya UNJ memberi anugerah gelar doctor untuk A.M. Fatwa. �Saya tahu A.M. Fatwa sebagai tokoh yang sangat konsisten. Sulit dicari tokoh seperti A.M. Fatwa. Tokoh sekarang didekati saja sudah berubah,� kata Jusuf Kalla.Fatwa laki-laki kelahiran Sulawesi Selatan 12 Februari 1929 ini kini terpilih sebagai anggota DPD RI mewakili Propinsi Jakarta. Mantan Wakil Ketua DPR RI ini adalah aktivis Partai Amanat Nasional. Ia dulu dikenal sebagai mubalig keras yang sempat meringkuk di penjara Orde Baru selama 12 tahun sejak tahun 1984.
Abdul Karim Daeng Patombong (Ampala Poso, Sulawesi Tengah, 29 Mei 1926). Ketua umum PWI Pusat tahun 1963-1965 yang lebih dikenal dengan nama Karim DP ini, menjadi wartawan lebih karena bakat. Sejak kecil Karim DP memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap berbagai masalah. Ia selalu mencari tahu latar belakang suatu peristiwa atau masalah, di samping senang membaca, menulis, dan melakukan perjalanan.Pendapatnya tentang profesi wartawan, pertama, profesi ini memberikan kesempatan untuk banyak mengenal pejabat, tokoh masyarakat dan politisi, serta dikenal banyak orang.Kedua, profesi wartawan merupakan salah satu pekerjaan yang penuh tantangan dan paling efektif untuk memperkaya pengetahuan, karena setiap hari terlibat dalam hal-hal baru, guna disebarkan sebagai informasi kepada masyarakat luas. Ketiga, setiap hari wartawan dituntut banyak membaca dan belajar guna memperdalam wawasan, bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, profesi, dan kedudukan, sehingga mampu menyerap dan mengolah informasi guna disampaikan kepada masyarakat.Karim DP menempuh pendidikan di Sekolah Mubaligh Muhammadiyah, Yogyakarta. Semasa sekolah ia sudah mulai mengirim karangan ke berbagai suratkabar.Ia mulai memasuki dunia kewartawanan pada masa pendudukan Jepang dengan bekerja di Kantor Berita Domei. Sesudah proklamasi ia menjadi wartawan perang di Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta (1945-1950), kemudian pindah ke Sin Po, Jakarta, yang belakangan berganti nama menjadi Panca Warta, dan kemudian berganti lagi menjadi Warta Bhakti. Di media ini Karim sempat menduduki jabatan puncak sebagai pemimpin redaksi karena, Presiden Soekarno menghendaki koran ini dipimpin oleh orang Indonesia asli.Semasa memimpin Warta Bhakti, ia juga aktif dalam kepengurusan PWI. Mulai dari Penulis II Pengurus PWI Jaya (1960-1961) hingga menjadi Ketua Umum PWI Pusat (1963-1965), menggantikan Djawoto yang terpilih sebagai Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) dan kemudian menjadi Duta Besar di RRC. Sebagai pengurus PWI Pusat, Karim berkesempatan menjadi anggota MPRS (1960-1963), dan anggota DPA (1963-1965). Di bidang politik, ia pernah menjadi anggota Badan Pekerja Kongres PNI (1963-1965). Pada masa itu, PWI yang memang sudah banyak dipengaruhi komunis, banyak bergerak di dalam aksi politik, misalnya, menghadapi BPS dan suratkabar atau wartawan yang tidak sefaham, ataupun menghantam kekuatan-kekuatan lain yang tidak sefaham seperti Angkatan Darat dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tidak lama sesudah peristiwa G30S/PKI, posisinya sebagai Ketua Umum PWI Pusat diganti. Ia tak diizinkan lagi menjalani profesi wartawan, dan ditahan selama 14 tahun. Setelah Orde Baru tumbang ia dapat aktif kembali dengan bekerja di Jurnal Solidaritas. Sesudah angin reformasi berhembus di Indonesia, Karim DP, sejak 2002, menjadi Ketua Umum Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia. Pengalaman paling berkesan yang dirasakan Karim selama menjadi wartawan adalah ketika ditugaskan meliput langsung pertempuran di Ambarawa. Pada masa revolusi Karim memang menjadi wartawan perang.Pada hari tuanya, Karim meluncurkan dua buku yakni Dari Revolusi Agustus 1945 sampai Kudeta 1966 (2002) dan Apa Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan? (2003). Ia pernah kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia, tapi tidak tamat. (Tim EPI/ES/SSWJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar